REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memerintahkan jajaran kepolisian untuk membuat pedoman dalam pelaksanaan penegakan hukum UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Arsul mengatakan, baik pedoman penafsiran maupun revisi UU sama-sama diperlukan.
"Hemat saya baik revisi UU ITE maupun pedoman yang akan jadi standar penanganan perlu dilakukan," kata Arsul kepada Republika.co.id, Rabu (17/2).
Ia menilai jika hanya dilakukan salah satu saja tidak akan cukup menjawab persoalan yang ada di UU ITE. Alasannya, karena pasal-pasal yang banyak dikritisi, terutama Pasal 27 ayat 3, Pasal 28 ayat 2, dan Pasal 29 UU ITE sering ditafsirkan sesuai dengan alam pikir polisi. Arsul menambahkan, dan juga orang dijadikan saksi ahli, meski sebagian dari mereka kategorinya sebenarnya lebih sebagai 'ahli bersaksi' bukan 'saksi yang benar-benar ahli di bidangnya.
"Jadi agar penafsirannya tidak semata dibangun atas dasar pola pikir penegak hukumnya maka perlu dirumuskan ulang bunyi pasalnya, termasuk diberi penjelasan untuk 'memagari' tafsirnya," ucapnya.
Selain itu, pedoman penafsiran juga diperlukan agar ada standarisasi dalam proses-proses penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi. Oleh karena itu, untuk menunjukan keseriusan pemerintah, politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu berharap pemerintah segera menyusun nasakah akademik & draft RUU-nya. "Terus membuka ruang konsultasi publik," kata Arsul.
Saat ini revisi UU ITE tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas). Ia juga berharap pemerintah bisa memasukan revisi UU ITE pada pembahasan perubahan Prolegnas Prioritas di bulan Juni 2021 mendatang. "Nah waktu yang ada bisa dipakai untuk susun naskah akademik dan draft RUU-nya," tuturnya.