REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi masyarakat sipil mendukung wacana Presiden Joko Widodo untuk melakukan revisi UU ITE. Koalisi masyarakat sipil meminta pemerintah segera merealisasikan revisi UU ITE.
"Koalisi mendukung pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam membuka wacana revisi UU ITE tersebut, namun pernyataan tersebut tidak boleh sebatas pernyataan retorik ataupun angin segar demi populisme semata. Pernyataan tersebut harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkret, " kata Peneliti ICJR Sustira Dirga dalam keterangan tertulisnya, Selasa (16/2).
Koalisi yang terdiri dari berbagai organisasi itu meminta agar seluruh pasal - pasal yang multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi dalam UU ITE sudah seharusnya dihapus. Dalam keyakinan ICJR, LBH Pers dan IJRS, hal ini menyebabkan banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang dilanggar akibat penggunaan pasal-pasal duplikasi dalam UU ITE. Misalnya, Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang memuat unsur "melanggar kesusilaan".
"Pasal ini seharusnya dikembalikan kepada tujuan awalnya seperti yang diatur dalam Pasal 281 dan pasal 282 KUHP dan atau UU Pornografi bahwa sirkulasi konten melanggar kesusilaan hanya dapat dipidana apabila dilakukan di ruang dan ditujukan untuk publik, bukan justru diatur dengan konteks dan batasan yang tidak jelas," tuturnya.
Karena, selama ini Pasal 27 ayat (1) UU ITE justru menyerang kelompok yang seharusnya dilindungi, dan diterapkan berbasis diskriminasi gender. Tak hanya itu, Pasal 27 ayat (3) juga kerap kali digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang daring.
Meskipun dalam penjelasan telah dirujuk ke Pasal 310 dan Pasal 311, namun dalam praktik seringkali diabaikan sebab unsur "penghinaan" masih terdapat di dalam pasal. Pasal ini seharusnya dirumuskan dengan sangat jelas.
"Komentar umum PBB No. 34 merekomendasikan dihapusnya pidana defamasi, jika tidak memungkinkan aplikasi diperbolehkan hanya untuk kasus paling serius dengan ancaman bukan pidana penjara, " ujarnya.