REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika
JAKARTA -- Keberhasilan India menekan mata rantai penularan Covid-19 menjadi perhatian dunia. India dengan penduduk 1 miliar jiwa sudah berhasil menurunkan kasus kurva kasus positif Covid-19.
Mantan Direktur WHO Asia Tenggara yang berkantor di New Delhi, India, Tjandra Yoga Aditama, berbagi cerita soal penanganan Covid-19 di India. Ia merasakan ada perbedaan yang cukup menonjol antara cara India menangani Covid-19 dengan cara Indonesia mengatasi penyakit asal China tersebut.
Berdasarkan pengalaman pribadinya, Prof Tjandra mengungkapkan lockdown di India berbeda dari Indonesia. Saat mengalami lockdown selama beberapa bulan, ia mengamati jalanan memang amat sepi di India. Kondisi ini berbanding terbalik di Indonesia di mana kendaraan masih meramaikan jalanan walau berstatus lockdown.
"Jarang sekali mobil di jalan waktu itu, dalam jarak beberapa kilometer selalu ada barikade polisi juga. Walaupun saya tidak pernah disetop karena pakai mobil diplomatik," kata Prof Tjandra pada Republika, Rabu (10/2).
Kemudian, masyarakat tidak dibiarkan bebas berkegiatan luar ruang di India selama lockdown. Prof Tjandra mengaku saat ingin olahraga sore di dalam komples kantornya saja terpaksa membawa kantong plastik kosong. Tujuannya untuk berpura-pura ingin belanja sehingga dibiarkan berjalan-jalan.
"Kalau ditanya petugas saya akan bilang bahwa ini bukan jalan-jalan tapi mau ke toko beli makanan. Ini contoh pengalaman pribadi ketatnya lockdown (India)," ujar Guru Besar FKUI itu.
Selain itu, Prof Tjandra mengamati testing Covid-19 memang dilakukan sangat masif di India. Pemerintah menyiapkan fasilitas testing di banyak tempat. Harga tes PCR di India juga lebih murah ketimbang di Indonesia sehingga memudahkan masyarakat yang ingin testing.
"Waktu September (2020) saya pulang ke Jakarta maka sebelum terbang saya panggil Lab ke rumah dan bayarnya Rp 400 ribu. Besoknya sampai Jakarta mau tes ulang bayarnya (waktu itu) lebih sejuta," ucap Prof Tjandra.
India pun memberlakukan subsidi agar harga tes PCR dapat ditekan serendah mungkin. "Sekarang seluruh India harga PCR ditetapkan maksimal Rp 160 ribu, di beberapa daerah di subsidi Pemda sehingga di dekat bandara Delhi tarifnya Rp 100 ribu dan satu hari selesai," tutur Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes Kemenkes itu.
Walau demikian, Prof Tjandra tetap bersikap bijak agar masyarakat tak mengkomparasi Indonesia dalam hal penanganan Covid-19. Sebab masing-masing negara punya faktor internal dan eksternal berbeda.
"Tidak tepat membandingkan satu negara dengan negara lain karena situasi amat berbeda," tuturnya.
Sebelumnya, Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban mengatakan kasus Covid-19 di India patut menuai perhatian karena turunnya kasus secara drastis. Kondisi ini terjadi bukan karena India menurunkan kapasitas testing. Prof Zubairi mendapati laporan menyebutkan jika kesibukan ICU rumah sakit di India justru menyusut.
"Ilmuwan penasaran. Mereka pun cari tahu kenapa kasus di India menurun dramatis, justru sebelum vaksinasi dimulai," kata Prof Zubairi di akun Twitter pribadinya @ProfesorZubairi pada 6 Februari.
Prof Zubairi memaparkan ada yang mengatakan jika kasus Covid-19 menurun drastis di India karena berhasil meningkatkan testing. Dengan begitu masyarakat bisa ke rumah sakit lebih awal hingga membuat angka kematian turun.
"Ada juga ilmuwan yang bilang, hal itu terjadi karena kesadaran memakai masker di India meningkat. Apalagi ada sanksi sebesar 2,75 dolar AS jika didapati tanpa masker. Pada malam tahun baru, polisi mengumpulkan denda masker hingga mencapai 37 ribu dolar AS untuk di Mumbai saja," lanjutnya.
Bahkan Prof Zubairi turut menyinggung iklim hangat di India yang dianggap mengurangi penyebaran virus. Salah satu studi mengklaim udara lembab dan hangat akan membuat droplet jatuh ke tanah lebih cepat, sehingga penularan lebih sulit.
"Tapi, studi lain menyatakan, kondisi cuaca India justru lebih kondusif untuk virus korona," tulisnya.
Prof Zubairi juga mengemukakan jurnal di GeoHealth bahwa polusi udara di perkotaan India melemahkan sistem kekebalan tubuh. Ketika udara penuh polutan, maka partikel-partikelnya justru memudahkan mengangkat virus dan memungkinkannya lebih lama di udara. Kemudian jurnal medis The Lancet mengatakan panas ekstrem justru memungkinan penularan virus dalam ruangan meningkat.
"Kenapa? Karena suasana panas itu memaksa orang masuk ruangan yang ber-AC dan justru berkontribusi pada penyebaran virus di ruangan yang tertutup," singgungnya.
Prof Zubairi memantau sampai sekarang para ilmuwan belum menemukan penyebab utama mengapa kasus Covid-19 di India bisa menurun jauh. "Entah itu karena perilaku orang Indianya atau Covid-19 yang memang hilang begitu saja dan mungkin akan kembali nanti, atau tetap menjadi misteri," sebutnya.
Diketahui, India mengalami tren penurunan drastis kasus Covid-19 sejak September 2020. Kala itu kasus Covid-19 harian berada di kisaran angka 80-90 ribu per hari. Namun lewat upaya penanganan ketat, penularan terus berkurang hingga mencapai 9-10 ribuan saja di awal Februari 2021.
Tercatat 10,8 juta warga India terinfeksi Covid-19. Dari jumlah itu, sebanyak 10,5 juta diantaranya sudah sembuh. Angka kematiannya yaitu 155 ribu orang.