REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) Ali Mukartono mengapresiasi hukuman 10 tahun penjara terhadap jaksa Pinangki Sirna Malasari, Senin (8/2). Menurut Ali, vonis tersebut wajar melihat Pinangki selama persidangan, yang menolak mengaku menerima suap-gratifikasi dari terpidana korupsi Djoko Tjandra terkait pengurusan fatwa bebas dari Mahkamah Agung (MA).
“Kita (Kejaksaan Agung) menghormati keputusan dari hakim itu,” kata Ali saat dijumpai di Gedung Pidana Khusus (Pidsus), Kejagung, Jakarta, Senin (8/2).
Menurut Ali, hukuman 10 tahun penjara itu terbilang pantas dibebankan kepada Pinangki. Selain karena Pinangki, sebagai penegak hukum, jaksa yang menerima pemberian suap dan gratifikasi.
Pun karena menurut Ali, selama persidangan, Pinangki kerap mengubah-ubah kesaksian. Dari mulai, tak mengakui menerima pemberian dari Djoko Tjandra selama proses penyidikan, dan pendakwaan, sampai saat pembuktian di pengadilan. Namun belakangan, saat menjelang penuntutan, Pinangki, dikatakan Ali mengakui perbuatannya.
Akan tetapi, dikatakan Ali, membaca pembelaan pascapenuntutan, Pinangki, malah kembali tak mengakui perbuatannya itu. “Itu risiko dia (dipenjara 10 tahun). Dia (Pinangki) yang menciptakan perbuatannya itu. Keterangan dia kan berubah-ubah. Waktu menjelang tuntutan, ngaku. Habis pembelaan, enggak ngaku. Ya itu risiko dia,” kata Ali.
Majelis hakim tindak pidana korupsi di PN Tipikor Jakarta, Senin (8/2) memvonis Pinangki bersalah menerima uang suap-gratifikasi senilai 500 ribu dolar AS (sekitar Rp 7,5 miliar). Uang tersebut, pemberian dari terpidana kasus korupsi Bank Bali 1999 Djoko Tjandra, agar Pinangki mengurus pembebasannya lewat proposal fatwa di MA.
Atas perbuatan tersebut, majelis hakim menghukum Pinangki selama 10 tahun penjara, dan denda Rp 600 juta, atau kurungan pengganti enam bulan. Vonis dan hukuman tersebut, lebih ringan dari tuntutan. Jaksa Penuntut Umum (JPU), dalam tuntutannya, meminta majelis hakim memenjarakan Pinangki selama 4 tahun, dan denda Rp 500 juta.
Ketua Majelis Hakim, Ignasius Eko Purwanto mengungkapkan sejumlah pertimbangan dalam putusan Pinangki. Hakim menyatakan, bahwa tuntutan yang dimohonkan oleh jaksa terlalu rendah.
"Bahwa memerhatikan hal-hal tersebut, serta mengingat tujuan dari pemidanaan bukan pemberian nestapa melainkan bersifat prefentif, edukatif, dan korektif, maka tuntutan yang dimohonkan penuntut umum terlalu rendah. Sedangkan, pidana yang dijatuhkan terhadap diri terdakwa dalam amar putusan dipandang layak dan adil serta sesuai dengan kesalahan terdakwa," kata Hakim Eko saat membacakan pertimbangan di PN Jakarta Pusat, Senin (8/2).
Dalam pertimbangan putusan, Majelis Hakim menilai jabatan Pinangki sebagai aparat penegak hukum dengan jabatan seorang Jaksa adalah merupakan hal yang memberatkan. Hal memberatkan lainnya, Pinangki dinilai turut membantu Djoko Tjandra menghindari pelaksanaan PK terkait perkara cessie bank bali sebesar Rp94 miliar yang saat itu belum dijalani.
Pun selama menjalani persidangan, Hakim menilai Pinangki terus menyangkal dan menutupi keterlibatan pihak-pihak lain yang terlibat dalam perkara ini. Sehingga, perbuatan Pinangki tersebut tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.
"Terdakwa berbelit-belit dan tidak mengakui kesalahannya," kata hakim.
Adapun untuk hal yang meringankan, Pinangki dinilai bersikap sopan dalam persidangan, belum pernah dihukum, dan merupakan tulang punggung keluarga.
"Terdakwa merupakan tulang punggung keluarga dan punya anak berusia 4 tahun," kata Hakim Eko.