Kamis 04 Feb 2021 14:46 WIB

Quo Vadis Perpres RAN Pencegahan Ekstremisme

Apakah Perpres RAN PE berpotensi menimbulkan persoalan baru di masyarakat?

Dian Andriasari, Dosen Fakultas Hukum Unisba, Ph.D Candidate UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Foto: dok pribadi
Dian Andriasari, Dosen Fakultas Hukum Unisba, Ph.D Candidate UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Ambiguitas “pemolisian oleh masyarakat”

Apakah dengan diterbitkannya Perpres No 7 Tahun 2021 Tentang Rencana Aksi Nasional (RAN PE) Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan Yang Mengarah Pada Terorisme, menjadi penanda keseriusan pemerintah untuk memutus mata rantai ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme. Ataukah justru perpres tersebut berpotensi menimbulkan persoalan baru di masyarakat.

Sekilas jika membaca konsideran Perpres No 7 Tahun 2021, terdapat beberapa landasan sosiologis diantaranya kecenderungan peningkatan ancaman ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, sehingga menciptakan kondisi rawan yang mengancam hak atas rasa aman dan stabilitas nasional. Di samping itu, pemerintah berpandangan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme memerlukan strategi komprehensif, untuk memastikan langkah yang sistematis dan terencana, dengan melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan.

Akan tetapi, perlu kehati-hatian untuk mengkualifikasi suatu perbuatan seseorang atau kelompok sehingga dapat dikategorikan radikal atau ekstrim. Ranah penafsiran itu menjadi ruang yang seharusnya diisi oleh kinerja serta profesionalitas aparat penegak hukum dan BNPT. Apabila mengkritisi lebih jauh Perpres No 7 Tahun 2021, terdapat beberapa hal yang mestilah ditafsirkan secara jelas oleh pembuat undang-undang, misalnya terkait pemolisian oleh masyarakat.

Namun klausul tersebut juga rentan terhadap pelanggaran HAM dan menimbulkan konflik sosial. Dalam lampiran Perpres No 7 Tahun 2021 halaman 40 disebutkan dalam kolom “Aksi PE (penanggulangan ekstrimisme); “sosialisasi dan promosi pemolisian masyarakat sebagai upaya pencegahan ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme”. Tentu saja klausul dalam lampiran tersebut mengandung banyak persoalan.

Term “pemolisian oleh masyarakat” sangatlah berbahaya, mengingat bahasa atau istilah yang mudah dipahami berimplikasi pada nilai, budaya, dan tindakan pada suatu masyarakat. Clifford Geertz, mengenai “diskursus nilai” dari sudut pandang antropologi, menjelaskan bahwa tindakan masyarakat selain dipengaruhi oleh simbol-simbol kebudayaan juga dipengaruhi oleh sistem nilai (Geertz, 2013; Handler, 2003; Geertz, 1973).

Bahasa dan istilah yang memiliki nilai (value) menentukan manusia untuk berkehendak. Sebuah tindakan akan terus berjalan berdasarkan nilai-nilai yang sudah dipercaya sebagai “makna” yang memiliki konteks.

Analogi ini mendeskripsikan sebagian besar orang melakukan sesuatu tindakan karena meyakini muatan “nilai” dan “makna” yang ada di dalam bahasa. Begitu juga dalam menanggulangi persoalan “radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.” Ketiga istilah tersebut cenderung menimbulkan dan menciptakan masalah baru yang lebih kompleks dan sarat neo violent dalam bentuk yang berbeda.

Meminjam istilah Chomsky (1928) bahwa bahasa adalah hal penting karena sangat membantu kehidupan dan memiliki peran dominan dalam aktivitas sosial, kebudayaan, sekaligus keagamaan. Bahasa mewakili serta menentukan ketiga komponen tersebut. Meskipun soft aproach dalam perpres ini memang patut diapresiasi, akan tetapi reaksi yang berlebihan dari negara dengan menerbitkan perpres juga tidak sehat jika ditinjau dari aspek politik hukum.

Bahwa Perpres merupakan peraturan yang dapat dimasukkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia karena bukan merupakan aturan kebijakan (beleidsregel). Perdebatan eksistensi dan kedudukan Perpres dalam hierarki peraturan perundang-undangan menjadi bahasan yang problematik mengingat sistem hukum di Indonesia banyak dipengaruhi oleh tradisi civil law, di mana seringkali timbul anggapan seakan-akan hukum itu identik dengan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara. Jika anggapan demikian terus dilanggengkan, maka sejarah akan terus mengingat bahwa hukum tak lebih dari sebuah legitimasi, entah kekuasaan atau hegemoni.

Kehidupan adalah anugerah berharga dari Allah SWT. Segera ajak bicara kerabat, teman-teman, ustaz/ustazah, pendeta, atau pemuka agama lainnya untuk menenangkan diri jika Anda memiliki gagasan bunuh diri. Konsultasi kesehatan jiwa bisa diakses di hotline 119 extension 8 yang disediakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Hotline Kesehatan Jiwa Kemenkes juga bisa dihubungi pada 021-500-454. BPJS Kesehatan juga membiayai penuh konsultasi dan perawatan kejiwaan di faskes penyedia layanan
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement