Senin 01 Feb 2021 21:31 WIB

Walhi: Bencana Hidrometeorologi di Jatim Terus Meningkat

Walhi Jatim catat Peningkatan bencana Hidrometeorologi karena aktivitas manusia

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Warga berjalan melewati endapan lumpur pascabanjir di salah satu perumahan di Kelurahan Tegal Besar, Kaliwates, Jember, Jawa Timur, Sabtu (30/1). Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur mencatat bencana hidrometeorologi di wilayah setempat terus meningkat setiap tahunnya.
Foto: Antara/Seno
Warga berjalan melewati endapan lumpur pascabanjir di salah satu perumahan di Kelurahan Tegal Besar, Kaliwates, Jember, Jawa Timur, Sabtu (30/1). Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur mencatat bencana hidrometeorologi di wilayah setempat terus meningkat setiap tahunnya.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur mencatat bencana hidrometeorologi di wilayah setempat terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada 2013-2014 tercatat ada sekitar 233 bencana. Meningkat setahun kemudian menjadi 297 bencana. 

Meningkat lagi pada 2016 menjadi 404 bencana, lalu 434 bencana di 2017, 455 bencana di 2018, dan kembali meningkat menjadi 620 bencana pada 2019. Manajer Kampanye Walhi Jatim, Wahyu Eka S mengatakan, peningkatan risiko kerentanan bencana salah satunya disebabkan oleh perilaku antropogenik. Yakni bahaya yang disebabkan oleh aktivitas manusia. 

"Salah satu faktor penyumbang perubahan iklim dan kerentanan bencana, memunculkan sebuah keniscayaan bahwa perubahan iklim antropogenik akan meningkatkan beberapa bencana hidrometeorologi dan dampak kesehatan yang terkait," ujar Wahyu Eka melalui siaran tertulisnya, Senin (1/2).

Data Global Forest Watch (GFW), kata Eka, pada 2001 Jawa Timur memiliki 232.000 hektar hutan primer yang membentang di lebih dari 4,8 persen luas daratannya. Namun pada 2019, hutan primer di Jawa Timur hilang sekitar 439 hektar setara dengan 255 kt emisi CO₂. 

Tak hanya itu, dari 2001 hingga 2019 tercatat Jawa Timur telah kehilangan 84.500 hektar tutupan pohon. Luas itu setara dengan penurunan 4,4 persen tutupan pohon sejak 2000, dan 36,3 juta ton emisi CO₂. 

Dalam aplikasi peta milik GFW juga disebutkan adanya lima daerah teratas yang bertanggung jawab atas 54 persen, dari seluruh kehilangan tutupan pohon antara tahun 2001 dan 2019. Rinciannya yakni Banyuwangi 15.800 hektar, Jember 12.200 hektar, Malang 8.780 hektar, Bondowoso 4.740 hektar, dan Tulungagung 3.860 hektar. 

Berdasarkan telaah data itu, Eka menilai, pemerintah terlalu abai dengan tidak melihat faktor kerentanan wilayah dalam menetapkan tata ruang dan sebuah kebijakan. "Penting kiranya pemerintah pusat, Pemprov Jawa Timur dan pemerintah kabupaten/ kota se-Jawa Timur untuk membuat kebijakan yang berbasis pada sains serta realitas," kata Eka. 

Eka melihat, selama ini izin tambang dan aneka izin yang tumpang tindih dengan kawasan hutan lainnya masih dirasa sangat masif. Eka merekomendasikan, rencana ulang pengelolaan yang memprioritaskan penyelamatan ruang hidup dari pada untuk eksploitasi. Selain itu, ia juga meminta pemerintah menghentikan izin tambang baik di kawasan hutan maupun pesisir Selatan, karena kini mulai marak lagi.

"Pemerintah harus bekerja sama dengan masyarakat, akademisi dan praktisi. Transparan dan demokratis untuk mengumpulkan bukti serta mengembangkan strategi untuk melindungi wilayah dari kehancuran, tingginya resiko bencana, dan tingginya ancaman kesehatan dari cuaca ekstrem dan peristiwa iklim," kata dia. 

Eka juga mengkritik tentang manajemen risiko bencana yang tidak mempertimbangkan perubahan iklim. Padahal menurutnya itu sangat penting untuk mengurangi risiko bencana jangka panjang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement