REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MA bidang Yudisial, Andi Samsan Nganro menilai tudingan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang mengatakan menurunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) Indonesia pada 2020 disebabkan oleh pengurangan hukuman oleh Mahkamah Agung (MA) pada tingkat putusan kasasi maupun peninjauan kembali (PK) hanyalah persepsi atau asumsi. Seperti diketahui, IPK Indonesia mengalami kemerosotan sebesar tiga poin menjadi 37 dari sebelumnya berada pada skor 40 pada 2019. Indonesia pun turun ke peringkat 102 dari sebelumnya peringkat 85 dari 180 negara yang disurvei pada 2019.
"Itu hanya persepsi atau asumsi. Sebab berbicara mengenai pemidanaan termasuk mengurangi hukuman terdakwa/terpidana korupsi melalui upaya hukum yang diatur dalam undang- undang adalah bagian dari penyelengaraan peradilan sebagai wujud mekanisme sebuah negara hukum. Dunia internasional tentu memahami masalah ini, " kata Andi Samsan kepada Republika.co.id, Jumat (29/1).
Menurutnya, bila dilihat secara kuantitas, pengurangan hukuman itu tidak signifikan pengaruhnya terhadap turunnya skor IPK. Sebab putusan PK MA yang mengabulkan permohonan PK Terpidana korupsi dengan mengurangi hukuman hanya 8 persen. Artinya sekitar 92 persen permohonan PK Terpidana korupsi yang ditolak. "Menurut data yang ada, hanya 8 persen yang memang dikabulkan, jadi masih ada 92 persen yang ditolak," tegasnya.
Ia menegaskan, dalam memutuskan suatu perkara Majelis Hakim tidak dapat diintervensi oleh siapapun, bahkan oleh Ketua MA. Oleh karenanya, maraknya pemotongan masa hukuman terpidana korupsi melalui putusan PK tak dapat disimpulkan sebagai pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi.