REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perwakilan Paguyuban Buruh Garmen Jawa Barat (PBGJB) yang mewakili sekitar 300.000 buruh di daerah itu akan mengadukan nasib ke Kementerian Ketenagakerjaan di Jakarta pada Senin (1/2). Para buruh akan mengadukan nasib mereka yang semakin sulit karena pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
“Beberapa tahun ini ribuan rekan kami buruh pabrik garmen di Jawa Barat yang bekerja di sektor padat karya menjadi pengangguran akibat relokasi pabrik ke daerah lain, atau bahkan ditutup,” kata Ketua PBGJB Agung melalui pernyataan di Jakarta, Kamis (28/1).
Menurut Agung, mereka sebenarnya sudah siap untuk mengerahkan ribuan anggota paguyuban untuk melakukan demonstrasi agar aspirasi mereka didengar demi perjuangan untuk menyambung periuk nasi, untuk membayar kontrakan serta kehidupan sehari-hari untuk keluarga.
“Tapi berhubung kondisi pandemi Covid-19, pihak kepolisian hanya mengijinkan 30-50 orang saja untuk mengikuti aksi, sementara pihak Kemenaker meminta 10orang perwakilan untuk dialog,” katanya.
Agung mengatakan bahwa ia meminta perhatian dari pemerintah, khususnya kepada para buruh di pabrik garmen dengan memperlakukan kebijakan yang lebih berpihak kepada industri padat karya yang memperkerjakan ratusan ribu buruh berpendidikan rendah.
Sementara itu Sekretaris PBGJB Azizah mengakui bahwa sudah ribuan rekan-rekannya yang mengalami PHK akibat pabrik yang tutup akibat tidak mampu menanggung beban Upah Minimum Kabupaten (UMK).
“Kami hanya bisa bekerja di garmen karena pendidikan kami yang rendah dan perusahaan mana yang bersedia mempekerjakan kami selain pabrik garmenyang padat karya,” katanya.