Perlu menjadi agenda ke depan bagaimana perosalan agama dan keindonesiaan tidak seharusnya tidak perlu lagi diperdebatkan. “Sukarno adalah contoh bagaimana keislaman, keindonesiaan bisa menyatu dengan sebuah kepribadian pembelajar dan terbuka, bisa cair dan bergaul dengan siapa saja,” tutur Prof Abdul Mu’ti.
Menurutnya, integrasi yang terjalin melalui relasi personal tersebut perlu terus dibangun agar bisa melintasi batas-batas perbedaan yang ada. “Karena secara personal kita memiliki kedekatan antara satu dengan yang lain,” tambanya.
Dialog antara keindonesiaan, kemodernan, dan keislaman bisa dilihat ketika Bung Karno mempopulerkan kopiah hitam yang sering dikenakannya. “Seorang muslim tidak perlu canggung dengan dunia modern dan kemudian tidak perlu kehilangan identitas keislamannya ketika dia masuk ke dunia modern yang begitu terbuka,” pungkas Prof Abdul Mu’ti. (Riz)