REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Ahmad Nurwakhid mengatakan radikalisme lebih halus dari pada virus. Karena itu, orang yang sudah terpapar radikalisme tidak menyadarinya.
“Kalau dalam Covid-19, kita menyebutnya orang tanpa gejala (OTG). Gejala awal orang yang terpapar radikalisme ini ketika seseorang muncul sikap kekecewaan atau kebencian maupun kemarahan terhadap situasi dan kondisi yang ada,” ujar Ahmad dalam webinar penanggulangan radikalisme yang diselenggarakan Forum Human Capital Indonesia (FHCI) yang dipantau di Jakarta, Rabu (20/1).
Kekecewaan yang timbul tersebut bisa disebabkan kekecewaan pada pemerintah atau pada pemimpin. Dia mengibaratkan radikalisme sama halnya dengan virus HIV/AIDS, yang mana melemahkan ketahanan tubuh penderitanya, sedangkan radikalisme melemahkan ketahanan berbangsa dan bernegara.
“Secara perlahan tapi pasti suatu bangsa dan negara bisa dikatakan hancur, jika elemen radikalisme telah masuk ke dalam institusi negara termasuk BUMN yang membuat sistem ketahanan menjadi lemah dan tidak berfungsi dengan baik,” jelas dia.
Ia menyebut radikalisme sebagai paham yang inginkan pembaharuan drastis dengan kekerasan. Sementara, terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas dan dapat menimbulkan korban yang bersifat massal.
Ia mengatakan, pemicu radikalisme dan terorisme adalah politisasi agama, pemahaman agama yang menyimpang, intoleransi, kemiskinan dan kebodohan, kesenjangan dan ketidakadilan, sistem politik dan hukum lemah, serta kondisi mental psikologi. Potensi radikal bisa meliputi semua agama, sekte, kelompok maupun individu manusia, baik yang berstatus sebagai ASN, TNI, Polri, dan seluruh elemen masyarakat.
Hasil riset Alvara Centre dan Mata Air Foundation menunjukkan 23,4 persen mahasiswa setuju jihad untuk khilafah, sebanyak 18,1 persen pegawai swasta tidak setuju Pancasila, sebanyak 9,1 persen pegawai BUMN tidak setuju Pancasila, sebanyak 23,3 pelajar SMA setuju jihad untuk khilafah, dan 19,4 persen PNS tidak setuju Pancasila. Karena itu, dia mendorong agar perusahaan BUMN turut terlibat dalam mencegah masuknya paham radikal di perusahaannya. Apalagi BUMN merupakan garda ketahanan ekonomi bangsa.
“Hati-hati dalam pemberian bantuan CSR, karena kami monitor ada dana CSR dari perusahaan BUMN maupun kementerian yang terindikasi lari ke kelompok radikal. Mungkin ada oknum yang terlibat atau mungkin juga tidak tahu,” jelas dia lagi.
Deputi Bidang SDM, Teknologi dan Informasi Kementerian BUMN, Alex Denni, mengatakan saat ini perusahaan di lingkungan memiliki core value yang sama yakni AKHLAK. AKHLAK merupakan singkatan dari Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif dan Kolaboratif.
Alex mengatakan budaya AKHLAK menjadi pondasi yang kuat agar setiap perusahaan BUMN tidak tercerabut dari akarnya. “Kita tahu sebelum ada AKHLAK ini, setiap perusahaan BUMN memiliki core value masing-masing. Dengan adanya AKHLAK ini, dengan fondasi yang sama bisa bertahan lama dan memudahkan dalam mobilitas tenaga kerja,” jelas Alex.
Dalam kaitan dengan radikalisme, ada nilai dari AKHLAK yang relevan yakni Harmonis dan Loyal. Alex mendorong perusahaan BUMN untuk saling peduli dan menghargai perbedaan, serta mengutamakan kepentingan bangsa diantara kepentingan golongan.
“Kita optimistis pada masa depan perusahaan BUMN dapat tumbuh dengan baik. Meski demikian, kita juga perlu mewaspadai adanya dinamika yang terjadi yang jika dibiarkan dapat menghambat pertumbuhan perusahaan BUMN,” imbuh Alex.