Rabu 20 Jan 2021 11:14 WIB

Darurat Sipil Malaysia: Demokrasi Menuju Monarki Absolut?

Jika kegiatan parlemen “digantung, menandakan Malaysia kian menuju monarki absolut.

Bendera Malaysia. Malaysia disebut menuju absolut monarki.
Foto:

Menuju Monarchy Absolut

Awal tahun ini 2021 ini misalnya, seperti halnya Indonesia, kerajaan Malaysia pun sibuk menangani Pendemi Covid-19 dengan relasi eksekutif dan llegisatif yang imbang. Presiden yang diwakili para menteri hadir di DPR RI untuk mendengar kritik Komisi IX yang meminta agar BPOM jangan diintimidasi dan tidak boleh ada denda bagi warga negara yang menolak vaksin. Justru eksekutif yang perlu transparan dan meyakinkan warga negara.

Begitu juga dialog terkait lock down, pembatasan pergerakan orang, penanganan C19, vaksin dan seterusnya berlangsung partisipatif. Dialog yang berbeda pandangan adalah biasa dalam demokrasi yang substantif, apalagi perbedaan perspektif diperlukan untuk melihat gambaran yang sebenarnya terjadi dari berbagai arah. Parlemen Indonesia membuka diri dengan eksekutif dalam membuat kebijakan publik di masa pandemic Covid-19.

Kita mengikuti perkembangan pengumuman “Darurat Sipil Pendemi” Yang di-Pertuan Agong Al-Sultan Abdullah Ri'ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah pada selasa, 12 Januari 2021 yang lalu yang akan berlaku hingga 1 Agustus 2021. Semestinya, jika jarum waktu bisa diputar ulang, kebijakan tersebut mestinya melibatkan dan mendengar suara wakil rakyat yang ada di Parlemen seperti yang diatur dalam prinsip “rukun Negara Malaysia 1970”.  

Faktanya tidak terjadi, terkait keadaan darurat kerajaan yang cenderung mengabaikan prinsip checks and balances antara eksekutif dan legislatif, yang dihormati dan dipatuhi oleh semua negara yang menjunjung tinggi demokrasi universal dan subtantif yang mempertimbangkan kedaulatan rakyat. Sangat disayangkan jika kegiatan parlemen Malaysia “digantung/dihentikan”. Hal ini menandakan Malaysia kian menuju monarchy absolut.

Ada kabar dari Malaysia tentang kondisi kekinian di sana: “…Proklamasi Darurat diisytiharkan di awal tahun 2021 dan operasi institusi Parlimen digantung, maka secara otomatik sistem pemerintahan Malaysia yang berteraskan amalan demokrasi berpilihan raya dan berparlimen telah tumbang serta merta, menyebabkan Kabinet Kerajaan tidak lagi boleh berfungsi secara sah seperti biasa. Ini ialah kerana Kabinet Kerajaan yang demokratik hanya boleh wujud dan bergerak secara sah ketika Parlimen boleh bersidang dan beroperasi secara sah, dan tidak digantung oleh Proklamasi Darurat.

Pada hakikatnya, Proklamasi Darurat adalah pemaksaan kuasa pemerintahan secara totalitarian dan bercirikan tirani yang sangat merbahaya…”. Sejarah telah mencatat pengumuman darurat sipil terkait pendemi ini adalah pengumuman darurat ke-9 dalam sejarah Malaysia, setelah Darurat Tanah Melayu (1948-1960), Darurat Konfrontasi Indonesia-Malaysia (1964), Darurat Sarawak (1966), Darurat Rusuhan Kaum 13 Mei (1969), Darurat Kelantan (1977), Darurat Asap/Jerebu (1997, 2005, 2013), Darurat Parlimen Batu Sapi (2020), Darurat Parlimen Gerik dan DUN Bugaya (2020).

Akan menjadi monarchi absolute jika pengumuman darurat negara itu mengabaikan suara rakyat yang diwakili oleh anggota parlemen. Apalagi “menggantung” operasi kegiatan parlemen demi memuluskan kuasa tunggal Perdana Menteri dan Yang dipertuan Agong” yang kian turun keagungannya.

Pepatah Melayu dan juga Nusantara mengingatkan kepada lapisan generasi lewat tradisi linsan dan tulisan bahwa “Raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggh”. Hal ini tajam dan keras sekali diingatkan oleh generasi terdahulu untuk anak-cucunya tentang bagaimana tata Kelola negara yang baik, arif dan bijaksana.

Kita berharap ada rekonsiliasi dan kerja sama yang baik antara Yang Dipertuan Agung, Perdana Menteri, para anggota parlemen faksi UMNO Pakatan Harapan-Perikatan Nasional dengan faksi Oposisi (Pakatan Rakyat). Alangkah indahnya jika parlemen dan eksekutif di negeri serumpun ini masu saling berdialog dalam mekanisme cheks and balances, yang di Pertuan Agong, mau melibatkan dan mendengar kekhawatiran dan peringatan dini yang disampaikan untuk semua pihak yang menjadi warga negara jiran Nusantara

ini. Kita tidak ingin Malaysia terperangkap dalam monarchy absolut ketika dunia di puncak pendemi ini. Kepemimpinan di masa krisis tokoh-tokoh tersebut sedang diuji dan diawasi oleh pengamat kawasan dan aktor politik global. Ke

mana arah demokrasi negara-negara di masa pendemi? Semoga rakyat Malaysia dan Nusantara dikelola secara demokratis di masa pendemi ini. Wallahua’lam bisawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement