Rabu 20 Jan 2021 11:14 WIB

Darurat Sipil Malaysia: Demokrasi Menuju Monarki Absolut?

Jika kegiatan parlemen “digantung, menandakan Malaysia kian menuju monarki absolut.

Bendera Malaysia. Malaysia disebut menuju absolut monarki.
Foto:

Redupnya Demokrasi Subtantif

Dalam khasanah ilmu politik modern dalam pendekatan post-behavioral ada credo relevansi dan aksi perubahan, yang melakukan pemetaan varian model demokrasi universal, prosedural dan demokrasi subtantif. Rangkaian teori yang dikemukakan oleh Mochtar Mas’oed yang merujuk ke Philipe C. Schmitter dan ilmuwan politik lainnya.

Intinya suatu negara mesti memiliki pengakuan dan penghormatan terhadap kedaulatan rakyat secara universal yang bentuknya diwakili oleh faksi perwakilan politik dalam parlemen, untuk mengawasi eksekutif (siapa pun aktornya: Presiden Kepala Negara+pemerintahan, Perdana Menteri dan Yang dipertuan Agung), yang sedang berkuasa.

Ada pesan Lord Acton Negarawan Inggris: “Kekuasan cenderung disalah gunakan (korup), kekuasaan yang mutlak dengan sendirinya korup”. Demokrasi subtantif menenggakan kesejahtraan publik dengan cara kesetaraan, pelibatan partisipatif dialogis, transparansi dan akuntabilitas.

Untuk menghindari redupnya demokrasi subtantif, mestinya, ada pengakuan dan penerapan indikator berupa praktik check and balances atau saling mengawasi/simak dan saling imbang, antara legislatif dan eksekutif. Tidak mendiamkan, menggantung atau mengabaikan satu-sama lain. Untuk itu ilmuwan politik Sidney Hook misalnya berpendapat demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan–keputusan pemerintahan yang penting mesti dikonsultasikan kepada wakil-wakil rakyat di parlemen yang diberikan wewenang oleh konstitusi untuk mengawasi eksekutif ketika membuat kebijakan publik.

Tidak boleh ia diabaikan atau “digantung”. Berkaitan dengan itu pemerintahan dan negara yang demokratis adalah pemerintahan yang mengajak dialog para wakil rakyat (Dewan Undangan Negeri) yang mendapat persetujuan dan memenangkan pilihan rakyat lewat pemilu.

Kita mengenal dalam literatur politik kawasan bahwa negara Malaysia adalah kerajaan yang berkonstitusi, dengan sistem demokrasi berparlemen. Teks “Rukun Negaranya" yang disusun pada 31 Agustus 1970 pada bagian pertama menyebutkan tujuan negara yang mau dibentuk yaitu negara Malaysia mendukung cita-cita hendak: Mencapai perpaduan yang lebih erat dalam kalangan seluruh masyarakatnya; Memelihara cara hidup demokratik; Mencipta satu masyarakat yang adil di mana kemakmuran negara akan dapat dinikmati secara adil dan saksama.

Hal ini sejalan dengan indikator demokrasi subtantif yang universal. Namun dalam perjalanan waktu, tentu akan mengalami dinamika pasang dan surut. Demokrasi dengan dasar kedaulatan yang diwakili oleh pihak oposisi dan pro pemerintah, sewajarnya dilibatkan dalam pembuatan kebijakan, apalagi dalam suasana darurat pendemi. Pengabaian ini menjadikan demokrasi kian redup dan mengkhawatirkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement