REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berita-berita mengenai sanksi hukum terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak sejak Desember 2020 mendorong korban berani melapor kejadian yang menimpa dirinya kepada polisi. Contohnya, seperti korban kekerasan seksual VN yang berani melaporkan ayah tirinya RDP (40) setelah melihat pemberitaan di televisi mengenai sanksi hukum bagi pelaku kejahatan seksual yang ditangkap polisi.
“Dengan melihat yang seperti itu, dia mengetahui sebagai pelanggaran pidana, lantas disampaikan ayah kandungnya. Baru setelah itu dilaporkan ke Polres Jakbar,” ujar Kapolres Metro Jakarta Barat Kombes Polisi Ady Wibowo di Jakarta, Kamis (14/1).
Ady menegaskan, keseriusan pihaknya dalam menangani kasus kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur diharapkan dapat menjadikan Jakarta Barat sebagai wilayah ramah anak.
“Tentu dengan pemberitaan ini kita berharap bisa melakukan pencegahankarena pemahaman yang tadi kita sampaikan bahwa anak itu baru tahu yang dialaminya adalah tindak pidana. Sehingga anak itu baru berani melapor,” ujar Ady.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Putu Elvina mengapresiasi apa yang dilakukan Polres Jakbar dalam memberi informasi tentang kasus yang melibatkan korban anak. Putu meyakini korban anak adalah korban bisu, sebab apa yang mereka alami menjadi pengalaman yang traumatis.
“Maka tiap pemberitaan baik yang membuat korban bersuara ini merupakan bagian terbaik dari pengungkapan kejahatan seksual pada anak,” ujar Putu.
Sebelumnya pada Kamis, Polres Metro Jakarta Barat mengumumkan telah meringkus seorang pria berinisial RDP (40) yang tega melakukan kekerasan seksual berulang kali terhadap anak tirinya yang masih berusia 11 tahun. Selain itu, seorang pria berinisial A (29) pelaku rudapaksa terhadap anak keterbelakangan mental berinisial NF (15) di kawasan Palmerah, juga diringkus polisi.
Pasal yang dikenakan terhadap pelaku yakni Pasal 81 atau dan pasal 82 UU RI Nomor 17 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.