Jumat 15 Jan 2021 07:21 WIB

Subsidi Pupuk dan Masalah Peningkatan Produksi Petani

Tujuan pemerintah memberikan subsidi pupuk untuk menekan ongkos produksi

Petani memberikan pupuk tanaman padi, di Desa Dasok, Pamekasan, Jawa Timur, Sabtu (9/1/2021). Pemerintah mengalokasikan pupuk bersubsidi pada tahun 2021 sebanyak 9 juta ton atau naik dari tahun 2020 yang mencapai 8.9 juta ton guna memenuhi kebutuhan petani.
Foto:

Dalam masalah pupuk, saat ini pemerintah mulai memberlakukan pembatasan peredaran pupuk subsidi. Diakui atau tidak, pupuk subsidi yang tersedia di kios-kios kebutuhan pertanian yang ditunjuk untuk menjual pupuk subsidi semakin sedikit. Pembelian pupuk subsidi, dibatasi hanya bagi petani yang memiliki kartu tani.

Seperti yang dijadikan argumen pemerintah, tujuan pemberlakukan sistem kartu tani adalah agar subsidi pupuk yang diberikan bisa lebih tepat sasaran. Tidak mengalir ke sektor pertanian skala industri. Argumentasi ini layak diapresiasi.

Namun dalam implementasinya, cukup banyak persoalan yang muncul di lapangan. Mulai dari adanya pembatasan kuota jumlah kartu tani yang beredar, RDKP (Rencana Dasar Kebutuhan Pupuk) yang tidak sesuai realitas, hingga terbatasnya ketersediaan pupuk subsidi di kios-kios yang ditunjuk.

Di Provinsi Jawa Tengah, jumlah kartu tani yang beredar di satu desa, disesuaikan dengan luas areal sawah di desa tersebut. Batasannya, setiap 1 hektar sawah di desa tersebut, mendapat jatah 1 kartu tani.

Pemerintah lupa, tingkat kepemilikan lahan sawah petani di Indonesia sudah sangat jauh menyusut. Data BPS 2017 menyebutkan, tingkat kepemilikan sawah petani sudah dibawah 0,4 hektar per petani. Itu adalah angka rata-rata, karena bila ditelisik lebih dalam lagi, tentu akan sangat banyak petani yang hanya memiliki 0,1-0,2 hektar. Hanya perangkat desa di desa-desa pemilik banda desa lahan bengkok, yang masih bisa mengelola sawah di atas 1 hektar.

Kebanyakan warga yang memiliki sawah, adalah orang-orang yang memiliki kondisi ekonomi agak lebih baik di desanya. Tapi kebanyakan juga bukan orang yang secara ekonomi berlebih. Dalam pengelolaan sawahnya, masih ada ribuan buruh tani non pemilik lahan yang menggantungkan hidupnya pada sawah-sawah tersebut.

Dengan membandingkan kuota kartu tani dengan tingkat kepemilikan sawah,bisa dihitung berapa ribu petani pemilik sawah yang akhirnya tidak bisa mendapat kartu tani. Mereka ini akhirnya memilih membeli pupuk non subsidi, agar tanaman padinya bisa tetap tumbuh optimal.

Bahkan kondisi ini masih ditambah lagi dengan kuota pupuk subsidi yang ternyata masih tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Dalam sistem Kartu Tani saat ini, pemerintah hanya memberi jatah pupuk subsidi rata-rata sebanyak 10 kg per 0,1 hektar atau 100 kg per 1 hektar. Jatah pupuk subsidi sebanyak ini, sangat jauh dibawah kebutuhan petani.

Dalam sistem pertanian padi sekarang, petani membutuhkan dua kali pemupukan selama satu kali musim tanam. Pemupukan pertama dilakukan setelah selesai masa tanam, sedangkan pemupukan kedua dilakukan pada saat tanaman padi akan mengeluarkan malai padi.

Untuk sekali pemupukan, petani yang memiliki lahan 0,1 hektar, membutuhkan sekitar 20 kg urea dan 5 kg pupuk SP-36. Atau bila menggunakan pupuk lengkap, petani membutuhkan urea sebanyak 7,5 kg, SP-36 10 kg dan pupuk KCL sebanyak 5 kg. Namun mengingat pupuk KCL tidak mendapat subsidi dari pemerintah, kebanyakan petani memilih hanya menggunakan dua jenis pupuk yang mendapat subsidi, yakni pupuk urea dan SP-36.

Dengan adanya keterbatasan kuota pupuk subsidi yang terjadi sekarang, mau tidak mau petani sudah harus  mengeluarkan ongkos produksi lebih banyak untuk mengelola lahan sawahnya. Bukan hanya pada masa pemupukan pertama, namun akan lebih banyak lagi pada masa pemupukan kedua. Jad kita tunggu saja, bagaimana kelanjutan pembangunan sektor pertanian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement