Kamis 07 Jan 2021 15:34 WIB

Kedelai Lokal yang Dipandang Sebelah Mata

Rekayasa pembenihan bisa membantu mewujudkan swasembada kedelai.

Pekerja memproduksi tahu di Rangkasbitung, Lebak, Banten, Rabu (6/1/2021). Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan pihaknya akan melipatgandakan produksi kedelai dalam negeri dalam waktu 200 hari atau dengan dua kali masa tanam sebagai upaya mengatasi lonjakan harga kedelai di pasar global.
Foto:

Wakil Ketua Umum Bidang Pertanian dan Pangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim, Edi Purwantom, mengatakan fluktuasi harga kedelai impor hanya bisa dituntaskan dengan perbaikan produktivitas kedelai lokal. Edi menjabarkan, sepanjang 2020 produksi kedelai lokal secara nasional hanya 320 ribu ton. Sementara kebutuhan kedelai nasional mencapai 2,5 juta ton per tahun.

Sedangkan produksi kedelai Jatim pada 2020 sekitar 57.235 dengan kebutuhan kedelai Jatim mencapai 447.912 ton per tahun. "Kekurangan tersebut pastinya diperoleh dari impor. Dan jumlahnya sangat besar," ujarnya, Rabu (6/1).

Edi kembali menegaskan, kebangkitan petani kedelai lokal menjadi sebuah keniscayaan untuk menghilangkan ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor. Terlebih saat ini, sudah ada perusahaan lokal yang berhasil mengembangkan benih kedelai kualitas unggul dengan produktivitas yang cukup tinggi di Jember.

Edi menjelaskan, kedelai bukan merupakan tanaman tropis, sehingga produktivitasnya rendah jika ditanam di Indonesia. Jika di Amerika produktivitas tanaman kedelai bisa mencapai 5 ton per hektare, di Indonesia produktivitasnya hanya mencapai 1,3 ton hingga 1,5 ton per hektare.

"Tapi dengan rekayasa pembenihan, produktivitas benih kedelai kualitas unggul di Jember ini bisa mencapai 3 ton hingga 3,2 ton per hektare," kata Edi.

Edi mengatakan, ada beberapa faktor kenapa kedelai lokal tidak diminati, baik oleh petani maupun oleh pengrajin tahu dan tempe. Pertama produktivitas kedelai lokal rendah, hanya sekitar 1,3 ton per hektare. Sementara biaya pengolahan tinggi, sehingga petani lebih memilih menanam padi dan jagung yang dianggap lebih menguntungkan.

"Di sisi lain, pengrajin tempe dan tahu juga kurang berminat karena kualitas dianggap rendah, biji kedelai kecil dan tidak rata serta kulit ari keras sehingga membutuhkan waktu lama dalam proses peragian," kata Edi.

Sebenarnya, swasembada kedelai bukan tidak pernah terjadi di Indonesia. Pada tahun 1992 Indonesia pernah mencapai swasembada kedelai.

"Pada tahun 1992 Indonesia pernah melakukan swasembada kedelai, saat itu produksi dari petani kedelai Indonesia mencapai 1,8 juta ton per tahun. Ini ada peluang bagi pemerintah untuk mengoptimalkan kedelai dalam negeri, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani," kata Anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina dalam keterangan tertulisnya.

Menurut Nevi Zuairina, meredanya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China diduga menjadi salah satu faktor dari penyebab kenaikannya harga komoditas kedelai tersebut. Hal tersebut, lanjutnya, karena Indonesia yang sebagian besar kedelainya bergantung pada pasokan dari AS, menjadi terdampak ketika China memborong kedelai AS.

"Momentum baiknya hubungan dagang AS-China yang berakibat pada kenaikan harga kedelai harus dimanfaatkan pemerintah untuk dapat meningkatkan produksi kedelai dalam negeri," papar Nevi. Untuk itu, ujar dia, pemerintah diharapkan dapat memperbaiki tata niaga kedelai dalam negeri.

Ia mengingatkan bahwa para pelaku industri tahu dan tempe sangat terbebani dengan adanya kenaikan harga kedelai yang mencapai hampir sebesar 50 persen pada awal tahun 2021 ini. BPS mencatat produk olahan dari kedelai yakni tahu dan tempe mengalami inflasi pada Desember 2020 masing-masing 0,06 dan 0,05 pesen, menyusul kenaikan harga kedelai di pasar global.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement