Sabtu 02 Jan 2021 00:25 WIB

Ini Penyebab Tahu dan Tempe 'Hilang' di Pasar

Naiknya bahan baku kedelai impor membuat perajin tahu dan tempe mogok massal.

Rep: Shabrina Zakaria/ Red: Nora Azizah
Naiknya bahan baku kedelai impor membuat perajin tahu dan tempe mogok massal (Foto: ilustrasi)
Foto: ANTARA/Dedhez Anggara
Naiknya bahan baku kedelai impor membuat perajin tahu dan tempe mogok massal (Foto: ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Sejak dua hari lalu, tahu dan tempe mulai menghilang dari peredaran. Tahu dan tempe sangat sulit ditemukan di pasar tradisional atau penjual keliling.

Bahkan, di beberapa pasar tradisional di Kota Tangerang, Banten, tahu dan tempe tidak lagi dijual. Ternyata, penyebab tahu dan tempe menghilang karena harga kedelai yang tinggi.

Baca Juga

Naiknya harga bahan baku kedelai impor membuat para perajin tahu di Bogor hingga se-Jabodetabek melakukan libur produksi massal mulai 31 Desember 2020 hingga 2 Januari 2021. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk protes kepada pemerintah karena tidak ada perhatian pada perajin tahu dan tempe mengenai kenaikan harga kedelai.

Sekjen Sedulur Pengrajin Tahu Indonesia (SPTI), Musodik, mengatakan, sekitar 25 pengrajin tahu di Bogor yang tergabung dalam SPTI juga turut libur produksi. Mereka tersebar di daerah Parung, Jasinga, Cibinong, dan Leuwiliang, Kabupaten Bogor.

Termasuk di Bogor, kenaikan harga kedelai juga terjadi. Musodik merincikan, dua bulan lalu harga bahan baku kedelai masih Rp 7.000 per kilogram. Namun, kini sudah meningkat hingga Rp 9.200-9.500 per kilogram.

“Yang naik itu ada dua jenis yang paling banyak dipakai para perajin tahu kelas besar, sedang, dan kecil, yaitu Grade B dan Grade C, selama dua bulan itu naik nggak kira-kira,” ujar Musodik kepada Republika di Cibinong, Jumat (1/1).

Dengan naiknya harga bahan baku tersebut, para perajin tahu merugi karena keuntungan mereka kian berkurang. Bahkan, Musodik mengatakan, 30 persen perajin tahu kelas kecil se-Jabodetabek sudah berhenti produksi karena tidak mendapat banyak keuntungan.

“Kami belum bisa memasarkan (tahu) kalau harganya dinaikin, jadi harus mogok dulu. Bahkan sudah ada yang off sebelum ada keputusan libur produksi massal ini, kebanyakan yang produsen kelas kecil,” tuturnya.

Dia menjelaskan, libur produksi atau mogok massal tidak hanya dilakukan oleh SPTI tetapi juga oleh pengrajin tahu dan juga tempe hampir di seluruh Indonesia. Dengan adanya libur produksi massal ini, dikatakan Musodik, perajin tahu berharap ada perhatian dari pemerintah, agar menekan harga kedelai segera turun.

“Kami ingin menyelamatkan perajin tahu yang kecil-kecil. Kalau tidak segera dilaksanakan (turun harga kedelai atau naik harga produk), bukan hanya perajin tahu yang kecil saja yang terkena dampak, tapi lama-lama yang besar juga bisa tutup,” jelasnya.

Libur produksi ini, kata Musodik, akan diikuti dengan pengawasan bersama di pasar-pasar. Beberapa pasar di Bogor yang diawasi, yakni Pasar Cileungsi, Pasar Anyar, Pasar Merdeka, dan Pasar Jasinga.

Sementara itu, salah seorang produsen tahu di Desa Cilebut Barat, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Dodo (37 tahun), juga akan melakukan aksi libur produksi massal. Sebab, dirinya juga merasakan kenaikan harga kedelai sejak sepekan terakhir.

"Sudah hampir sepekan ini kenaikannya. Sekarang Rp 9.400, padahal biasanya Rp 7.000 per kilo,” kata Dodo.

Pria yang sudah menjadi perajin tahu sejak tahun 2003 ini pun harus memutar otak agar usaha turun temurun dari keluarganya itu tidak gulung tikar. Alhasil, dirinya terpaksa mengecilkan ukuran tahunya agar biaya produksi tidak membengkak.

"Segitu juga (konsumen) protes, tahunya jadi kecil. Tapi dari pada harganya kita naikin," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement