Kamis 31 Dec 2020 10:29 WIB

Pembelahan dan Impian Persatuan: Politik Sepanjang 2020

Refleksi akhir tahun 2020

Kemeriahan rakyat menjelang tahun baru 2021
Foto:

Tiga Resolusi Utama untuk Politik Pemulihan

Politik pemulihan merupakan sebuah proses yang ditempuh negara untuk “menyehatkan” kembali sektor-sektor yang selama ini lumpuh selama masa pandemi Covid-19. Persoalan seperti ini tentu tidak hanya dialami oleh Indonesia, namun juga menjadi bencana global. Terlepas itu, setiap negara mempunyai cara masing-masing untuk melakukan pemulihan sesuai dengan kebutuhan dan konteksnya.

Berdasarkan evaluasi dan refleksi selama masa pandemi, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan sebagai bagian dari upaya melakukan politik pemulihan.

Pertama, perlu pembenahan komunikasi pemerintah agar tidak terjadi banyak kesalahpahaman. Komunikasi publik sudah selayaknya dilakukan pejabat pemerintah dengan hati-hati. Perlu mengidentifikasi masalahnya terlebih dahulu, melihat sasaran publiknya termasuk menyesuaikan dengan konteksnya dan tidak mengeneralisir.

Jika di awal penanganan pandemi sempat terjadi blunder komunikasi, ada kemungkinan di era meningkatnya persoalan-persoalan publik di masa pandemi yang membutuhkan respon pemerintah, para pejabat publik memberikan pernyataan-pernyataan yang tidak perlu.

Atau sebaliknya tidak memberikan pernyataan yang justru akan menciptakan kesenjangan informasi. Kegagalan komunikasi mempunyai konsekuensi menstimulasi terjadinya disharmoni.

Kedua, melakukan pemulihan dengan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang ramah kepentingan publik, tidak bias politik.

Kondisi masyarakat yang sedang tertekan tampak dari merosotnya daya beli dan tingkat kemiskinan maupun pengangguran meningkat harus menjadi alasan utama negara hadir secara total bahkan memberikan affirmative action untuk mendongkrak pemulihan ekonomi masyarakat. Seperti halnya ulasan Brown & Stewart, persoalan ekonomi menjadi salah satu faktor utama pemicu konflik. Maka, persoalan “perut” harus diperhatikan demi mencapai harmonisasi sosial.

Ketiga, memastikan penegakan hukum berjalan sesuai koridor. Lemahnya penegakan hukum akan membuka kran-kran gesekan politik semakin menguat. Diskriminasi, kekerasan dan ketidakadilan akan melegitimasi praktik-pratik despotisme.

Negara tidak dapat berlaku sewenang-wenang, dominasi negara tetap ada batasnya. Negara harus menjadi rumah bersama, tidak membuat jarak (vis a vis) dengan masyarakat. 

Harmony without uniformity menjadi gugusan besar melakukan politik pemulihan sebagai resolusi. Bias-bias kepentingan sering kali mendegradasi tujuan substansi dengan dalih pemufakatan sepihak.

Padahal, harmoni dapat terwujud tanpa penyeragaman. Justru jika penyeragaman dilakukan dengan meminggirkan perbedaan-perbedaan, persamaan hanyalah gimmick yang terbangun sebagai representasi kediktatoran. Oleh karena itu, iktikad politik (political will) untuk mengawal agenda-agenda pemulihan di semua sektor menjadi resolusi utama.

Sebab, hadirnya negara adalah “vaksin” bagi masyarakat bukan hanya memulihkan ekonomi, tetapi memulihkan asa menghadapi ketidakberdayaan di masa-masa sulit.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement