Teropong Republika 2020-2021 berisi ulasan permasalahan penting nasional yang terjadi selama setahun belakangan. Sekaligus mencoba memproyeksikan bagaimana masalah serupa bisa diselesaikan pada tahun depan. Kita semua berharap Indonesia 2021 tentu berbeda dari situasi tahun sebelumnya. Harus bangkit dan lebih baik lagi.
Oleh Bayu Hermawan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sepanjang tahun 2020 berimbas pada banyak hal dalam kehidupan masyarakat. Namun, meski di tengah ketakutan dan kekhawatiran terhadap virus SARS CoV-2, dinamika politik dalam negeri seolah tak terpengaruh. 'Kegaduhan' tetap terjadi imbas dari sejumlah peristiwa di tahun 2020.
Tahun 2020 baru berjalan beberapa hari, ketika publik dikejutkan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap komisioner KPU Wahyu Setiawan pada Januari. Publik semakin heboh ketika mengetahui komisioner KPU itu terlibat dalam suap yang dilakukan oleh eks calon anggota legislator dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Harun Masiku. Wahyu diketahui menerima suap dari politikus PDIP itu, untuk mengatur proses PAW caleg terpilih, agar Harun yang gagal di Pemilu bisa dilantik menjadi anggota DPR menggantikan rekan satu partainya yang meninggal dunia. Nama Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sempat terseret dalam kasus ini.
Kasus ini ibarat memberikan angin bagi bara panas sisa persaingan Pemilu dan Pilpres 2019. Kasus hukum tersebut pun ikut membuat kondisi politik gaduh, karena bagi kelompok yang beranggapan pemilu lalu penuh kecurangan semakin yakin bahwa memang terjadi kecurangan, dengan adanya bukti anggota KPU yang menjadi wasit dalam pemilu telah menerima suap. Meski kini kasus suap PAW sudah mereda, bukan tidak mungkin di tahun 2021 bisa kembali menimbulkan gejolak politik, karena Harun Masiku sang kunci dari kasus tersebut hingga kini masih raib bak ditelan bumi.
Di awal masa pandemi Covid-19, kondisi politik Indonesia kembali menghangat, kala pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan pada April 2020. Parpol 'oposisi' dan yang berada diluar pemerintahan ramai-ramai menolak Perppu Covid-19, karena beleid ini dinilai memuat pasal kekebalan hukum bagi pelaksana perpu dalam kebijakan penanganan Covid-19.
Setelah disahkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 pun, sejumlah pihak masih mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Perppu Covid-19 kembali menjadi sorotan pada akhir tahun tepatnya pada bulan Desember, kala Menteri Sosial Juliari P Batubara ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait suap dan korupsi Bansos Covid.
Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Din Syamsuddin menilai kasus korupsi Bansos Covid-19 terjadi karena ada celah dalam Perppu Covid-19. Menurutnya Perppu Covid-19 potensial mendorong tindak korupsi karena memberi kewenangan penuh kepada pihak pemerintah untuk menyusun anggaran. Hingar bingar politik terkait Perppu Covid-19 kemungkinan masih bisa terjadi di tahun 2021. Sebab, pademi Covid-19 belum selesai dan bukan tidak mungkin bakal ada kasus lain terkait penanganan Covid-19 di tahun depan.
Di tahun 2020, publik pun dihebohkan dengan munculnya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang merupakan usulan Badan Legislatif DPR. Ormas-ormas Islam di Indonesia langsung bersatu padu menolak RUU HIP karena dianggap membangkitkan komunisme dan mendorong Indonesia menjadi negara sekuler. Aksi unjuk rasa pun terjadi di tengah pandemi Covid-19. Untuk meredam gejolak di tengah masyarakat, pemerintah pada Juli 2020 kemudian mengusulkan RUU HIP diganti dengan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Hingga kini, isu-isu terkait HIP masih berseliweran di media sosial, dan bukan tidak mungkin akan kembali panas pada tahun 2021, karena RUU BPIP masuk dalam program legislasi nasional prioritas tahun depan.
Sejak usai pemilu 2019, demonstrasi baik dalam skala kecil hingga besar menjadi hal yang biasa di Indonesia, khususnya Jakarta, termasuk pada tahun 2020. Babak paling panas dalam dinamika politik di Indonesia adalah ketika DPR dan pemerintah akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi undang-undang pada 5 Oktober 2020. Aksi penolakan terhadap UU Ciptaker sebenarnya bukan baru terjadi jelang pengesahan. Sejak awal pembahasan RUU, penolakan terutama dari kelompok buruh gencar dilakukan. Namun, hal itu tidak membuat pembahasan terhenti. Tudingan bahwa DPR dan Pemerintah tergesa-gesa hingga pembahasan yang tidak transparan dilontarkan pascapengesahan.
Aksi untuk rasa besar-besaran pun terjadi dan meluas dari Jakarta hingga di banyak daerah lain. Tak jarang aksi unjuk rasa berakhir dengan bentrokan yang menimbulkan kerugian materil, seperti pembakaran transjakarta hingga perusakan lainnya. Polisi pun mengambil tindakan tegas terhadap aksi-aksi yang berujung pada kerusuhan tersebut. Meski gelombang unjuk rasa meminta UU Ciptaker dibatalkan, pemerintah bergeming dan UU ini berlaku pada awal November, sedangkan pihak-pihak yang menolak beramai-ramai mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Wajar isu politik dinasti muncul, sebab Pilkada 2020 diikuti mulai dari anak dan menantu Presiden Jokowi, putri dari Wapres Maruf Amin, hingga keluarga-keluarga petinggi parpol dan pemimpin daerah.
Pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2020 juga menjadi peristiwa politik yang menjadi perhatian publik. Pelaksanaan Pilkada yang awalnya direncanakan pada pertengahan tahun terpaksa ditunda dengan alasan kondisi pandemi Covid-19. Namun, meski pandemi belum mereda, pemerintah memutuskan tidak akan menunda lagi pelaksanaan pilkada serentak, dengan alasan jika pilkada ditunda maka akan banyak daerah yang akan dipimpin oleh pejabat sementara. Permintaan sejumlah pihak agar pilkada sebaiknya ditunda tidak ditanggapi oleh pemerintah pusat. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa alasan pilkada tetap digelar, bukan hanya soal masa jabatan kepala daerah, namun karena pilkada tahun ini banyak diikuti oleh keluarga petinggi negara. Isu politik dinasti pun menguat seiring semakin dekatnya pelaksanaan pilkada. Wajar isu politik dinasti muncul, sebab Pilkada 2020 diikuti mulai dari anak dan menantu Presiden Jokowi, putri dari Wapres Maruf Amin, hingga keluarga-keluarga petinggi parpol dan pemimpin daerah.
Dua hal menarik dari Pilkada serentak kali ini, pertama ternyata nama Wapres Maruf Amin masih kurang punya kekuatan untuk membawa putrinya memenangkan pertarungan Pilkada Tangsel. Siti Nur Azizah kalah dari pejawat Benyamin Davnie-Pilar Saga yang masih dari 'dinasti' mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Bukan cuma putri Wapres, keponakan Ketum Gerindra Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati juga gagal di ajang yang sama.
Hal kedua adalah terkait kiprah dari putra Presiden Jokowi Gibran Rakabuming dan menantunya Bobby Nasution yang kemungkinan besar akan memenangkan Pilkada Kota Solo dan Kota Medan. Menarik karena apa yang akan dilakukan keduanyta di tahun mendatang, dalam kapasitas sebagai kepala daerah pasti sedikit banyak akan selalu dikait-kaitkan dengan Jokowi. Apakah keduanya mampu keluar dari bayang-bayang Jokowi, ini yang menarik untuk ditunggu.
Peristiwa politik terakhir yang menarik terjadi di penghujung tahun, yakni terkait reshuffle kabinet. Sejak awal pandemi, berbagai pihak telah menyoroti kinerja menteri-menteri Jokowi. Usulan agar adanya reshuffle juga bukan barang baru, terlebih jika berpatokan pada masa kepemimpinan pertamanya, Jokowi dikenal tak ragu dalam mengganti menteri yang tidak menunjukan performa baik. Namun, meski sempat ada beberapa insiden Jokowi marah terhadap menterinya, tetapi reshuffle tidak juga kunjung terjadi. Sindiran-sindiran dari publik hingga media massa seperti 'kursi kosong Terawan' juga tidak membuat Jokowi melakukan pergantian para pembantunya. Hal inipun memunculkan spekulasi bahwa Jokowi takut dengan parpol pendukungnya, khusunya PDIP. Namun, akhirnya Jokowi melakukan reshuffle setelah dua menterinya yakni Menteri KKP Edhy Prabowo dan Mensos Juliari Batubara menjadi tersangka di KPK.
Reshuffle sejatinya bukan hal yang mengejutkan, termasuk menteri-menteri yang kena reshuffle. Yang menjadi kejutan pada reshuffle edisi kali ini adalah orang yang kemudian ditunjuk oleh Jokowi untuk masuk dalam pemerintahannya. Orang itu adalah Sandiaga Uno, yang merupakan mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta sekaligus mantan cawapres pada pemilu lalu yang menjadi lawan Jokowi-Maruf. Dengan masuknya Sandiaga, artinya Jokowi telah merangkul dua lawannya, karena sebelumnya Prabowo Subianto sudah masuk lebih dulu dan menjabat sebagai Menhan.
Apa yang dilakukan oleh Jokowi, mungkin baru pertama kali terjadi di Indonesia. Dimana konsolidasi dan kompromi politik dilakukan secara total, bukan cuma pada tingkat parpol yang bukan pendukungnya saat Pilpres, namun hingga lawannya pun diikut digandeng. Hal ini sah-sah saja, karena dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi, semua tergantung kepentingan. Terlepas dari apakah Sandiaga punya kapasitas dan kemampuan untuk menjadi menteri, namun mungkin Jokowi punya kepentingan agar jalannya pemerintahan setelah tahun 2020 bisa lancar, terlebih pandemi Covid-19 belum ada kepastian kapan berlalu.
Reshuffle kabinet di akhir tahun 2020, tentu akan membawa efek di tahun 2021. Bukan saja dari penilaian terhadap kinerja menteri-menteri baru, namun juga dari konstelasi politik. Ada dua kemungkinan, pertama pemerintah semakin solid mengingat sudah tidak ada lagi lawan yang berada di luar, kecuali PKS yang menyatakan total beroposisi. Kedua, akan semakin banyaknya muncul gerakan-gerakan ekstraparlementer. Hal ini bisa terjadi karena partai-partai dan tokoh-tokoh yang seharusnya menjadi penyeimbang pemerintah, sudah tidak bisa lagi diandalkan. Gejala kemunculan gerakan ekstraparlementer sebenarnya sudah terlihat pada tahun 2020, pertanyaannya apakah akan semakin membesar atau tidak di tahun 2021.