Berdasarkan analisis Warsi, dalam rentang tiga tahun terakhir sejak 2017 hingga 2019 di Sumatra Barat, ada 293 desa yang mengalami bencana tanah longsor, 440 desa mengalami banjir, 100 desa mengalami banjir bandang, dan 145 desa mengalami kekeringan. Sementara itu, 145 desa diterpa kebakaran hutan.
Dilihat dari data ini, banjir dan longsor masih sangat mendominasi. Bahkan, pada awal Februari 2020, intensitas hujan yang tinggi telah mengakibatkan delapan daerah di Sumatra Barat dilanda banjir dan longsor. Delapan daerah ini meliputi, Kabupaten Solok, Sijunjung, Pasaman Barat, Lima Puluh Kota, Agam, Dharmasraya, Solok Selatan, dan Kota Solok.
Geografis Sumatra Barat dengan topografi perbukitan dan pegunungan dengan kelerengan di atas 10 persen menjadi salah satu faktor pemicu bencana yang terjadi. Ditambah lagi dengan curah hujan yang tinggi, membuat kawasan ini rentan terhadap bencana banjir, longsor, kekeringan, dan bencana alam lainnya.
Namun, ketika dielaborasi dalam perspektif yang lebih luas, selain faktor topografi dan kondisi geografi, bencana alam di Sumatra Barat beririsan langsung dengan akibat yang ditimbulkan dari deforestasi. Sumatra Barat merupakan daerah dengan luas kawasan hutan mencapai 2.342.893 hektare atau 55,39 persen dari luas wilayah administratifnya.
Dari luas hutan itu, 791.671 hektare di antaranya merupakan kawasan dengan fungsi hutan lindung. Sebagian masyarakat Sumatra Barat juga bergantung pada hasil hutan.
Pada tahun 2018 ada 320 desa yang berada pada topografi wilayah lembah dan kelerengan, dengan 39.383 rumah tangga yang menggantung hidup pada sumber daya hutan. Warsi menyebut, potensi kawasan hutan yang melingkupi lebih dari separuh wilayah Sumatra Barat adalah modal sosio-ekologis yang harus dijaga keberlanjutannya.