Sabtu 26 Dec 2020 13:02 WIB

'Aturan Pesangon UU Ciptaker Untungkan Pekerja-Pengusaha'

Pelanggar ketentuan pesangon dapat dijerat sanksi pidana.

Ilustrasi Omnibus Law UU Cipta Kerja. Akademisi UIN Walisongo Semarang M Harun menilai aturan pesangon dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) menguntungkan pekerja maupun pengusaha.
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Ilustrasi Omnibus Law UU Cipta Kerja. Akademisi UIN Walisongo Semarang M Harun menilai aturan pesangon dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) menguntungkan pekerja maupun pengusaha.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi UIN Walisongo Semarang M Harun menilai aturan pesangon dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) menguntungkan pekerja maupun pengusaha. "Perbandingan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja tentang uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja ternyata tidak ada kelompok yang dirugikan atau sama-sama diuntungkan," kata M Harun dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (25/12).

Menurut dia, hal yang membedakan ketentuan pesangon dalam UU Cipta Kerja dengan UU Ketenagakerjaan salah satunya adalah perubahan atas Pasal 185. Jika dalam UU sebelumnya tidak diatur sanksi pidana bagi pelanggar pembayaran pesangon, maka UU Cipta Kerja menambahkan pelanggar ketentuan pesangon (156 ayat 2) di dalam Pasal 185 UU Cipta Kerja tersebut.

Baca Juga

Dengan demikian, pelanggar Pasal 156 ayat 2 yang mengatur besaran uang pesangon yang wajib diberikan kepada pekerja terancam sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta. Soal pertanggungjawaban tindak pidana, Harun melihat wilayah UU Cipta Kerja adalah hukum pidana khusus.

"Karena wilayah UU Cipta Kerja adalah hukum pidana khusus, maka subyek hukum pidana itu berupa orang per orangan dan perkumpulan atau badan hukum, atau korporasi," katanya.

Akademisi itu mengatakan meskipun bunyi pasal-pasal tidak secara eksplisit mengatakan korporasi, korporasi tetap bisa dikenakan pertanggungjawaban atas suatu tindakan pidana. "Khususnya terkait klaster ketenagakerjaan, walaupun diformulasikan dengan frasa 'barang siapa', tapi itu tetap merujuk pada dua subjek hukum. Yaitu, orang per orang dan badan hukum atau korporasi dan perkumpulan," kata Harun.

Sebelumnya, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menilai UU Cipta Kerja bertujuan melindungi calon pekerja dan pekerja. Menurut dia, UU Cipta kerja ini adalah perspektif calon pekerja, itu utamanya.

Karena, UU akan menciptakan investasi dan menciptakan lapangan kerja,yang akan mengakomodasi kebutuhan calon pekerja, bukan pekerja. Setiap tahun berapa calon pekerja yang muncul, mereka harus disiapkan pekerjaan-pekerjaan baru.

Dalam UU Cipta Kerja, pesangon pekerja yang kena PHK memang dikurangi, tapi tidak merugikan bagi pekerja. "Kenapa tidak merugikan? Karena dibalik penurunan ini, ada kepastian bahwa itu akan terbayarkan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement