Senin 28 Dec 2020 13:01 WIB
Teropong Republika 2020-2021

Wajah Sekolah di Masa Pandemi, Sampai Kapan?

SKB Empat Menteri tidak mewajibkan pembukaan sekolah di masa pandemi.

Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menjalani Program Kampus Mengajar Perintis (KMP) di sejumlah sekolah terdampak Covid-19 selama tiga bulan.
Foto: Humas UMM
Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menjalani Program Kampus Mengajar Perintis (KMP) di sejumlah sekolah terdampak Covid-19 selama tiga bulan.

Teropong Republika 2020-2021 berisi ulasan permasalahan penting nasional yang terjadi selama setahun belakangan. Sekaligus mencoba memproyeksikan bagaimana masalah serupa bisa diselesaikan pada tahun depan. Kita semua berharap Indonesia 2021 tentu berbeda dari situasi tahun sebelumnya. Harus bangkit dan lebih baik lagi.  

Oleh: Andi Nur Aminah

Baca Juga

REPUBLIKA.CO.ID, Prediksi tentang pandemi Covid-19 akan mulai menurun atau diharapkan sudah hilang bersama dengan berakhirnya tahun 2020 ternyata jauh panggang dari api. Bahkan, justru di penghujung tahun ini, grafik kenaikan kasus Covid-19 melonjak tajam. Sejumlah wilayah di Indonesia kini berstatus zona merah. 

Kenaikan kasus aktif semakin lama semakin cepat. Ketua Tim Pakar Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, libur panjang selalu memicu kasus baru dalam jumlah besar. Begitu juga kepatuhan pada protokol kesehatan kian mengendor.

Sejak periode Maret hingga Desember, Satgas Covid-19 mencatat data kenaikan tertinggi dalam waktu yang tersingkat terjadi pada periode November hingga Desember. Kasus aktif meningkat dua kali lipat, dari 54.804 menjadi 103.239 hanya dalam waktu satu bulan. 

Peningkatan kasus ini akhirnya mengubah kebijakan pemerintah salah satunya di bidang pendidikan. Pemerintah telah menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 menteri; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19. 

SKB itu membuka peluang pembelajaran tatap muka di sekolah bisa dilaksanakan pada Januari 2021. Tentu saja, dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Sehingga, pembukaan sekolah tidak menjadi klaster baru penyebaran wabah Covid-19. 

SKB Empat Menteri ini tidak mewajibkan pembukaan sekolah. Pembukaan kembali sekolah tatap muka, keputusannya diserahkan kepada pemerintah daerah setempat. Semua tergantung kesiapan daerah. Jika belum kondusif, boleh menunda dulu. Yang sudah siap, boleh membuka dan lakukan pembelajaran tatap muka. 

Keluarnya SKB ini pun disikapi beragam oleh pemda. Ada yang sudah menyatakan akan memulai pembelajaran tatap muka pada Januari 2021, ada yang belum memutuskan, ada yang menunda. 

Namun SKB Empat Menteri ini juga menuai kritik. Salah satunya dilontarkan oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI). IGI menilai langkah menyerahkan keputusan sekolah tata muka ke Pemda atau sekolah dan orang tua siswa sangat berpotensi menambah kerugian anak didik yang semakin besar. 

 

 
Ini ibarat mobil tua yang sedang mogok, onderdilnya bermasalah, diajak menanjak sudah tidak kuat, di jalan bergelombang pun makin repot. 
 
 

Kemendikbud sendiri telah mengakui kegagalan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Dengan adanya SKB Empat Menteri, IGI menganalogikan kebijakan ini ibarat mobil tua yang sedang mogok, onderdilnya bermasalah, diajak menanjak sudah tidak kuat, di jalan bergelombang pun makin repot. 

Tetapi Kemedikbud malah membuka ruang untuk tetap memaksakan mobil mogok itu tetap berjalan dan menyiksa sebagian besar penumpang yang ada di atasnya. Kemendikbud sebagai regulator terus membiarkan mobil mogok ini menanjak dan berpotensi untuk mundur dan jatuh ke jurang.

Melihat situasi dan kondisi terakhir Covid-19, boleh jadi akan banyak pemerintah daerah tak berani membuka sekolah di bulan Januari apalagi dengan rekor pertambahan yang terus terjadi. Jika pun ada Pemda yang berani buka sekolah, maka ketika ada serangan baru yang menimpa anak didik ataupun guru maka hampir bisa dipastikan pembelajaran akan kembali ke rumah. Sehingga situasi ini akan terus terjadi tanpa perbaikan sama sekali. Akankah ini terus terjadi, sedangkan pandemi Covid-19 belum jelas akhirnya, meskipun vaksin sudah datang dan siap disebarkan?

Pengalaman PJJ yang dilakukan siswa maupun mahasiswa selama sembilan bulan ini, telah memunculkan stres di kalangan siswa dan orang tua. Tapi sesungguhnya bukan karena pembelajaran jarak jauh. Namun bisa jadi karena minimnya kemampuan guru memberikan pembelajaran jarak jauh yang menarik dan menyenangkan. 

Selain itu, tidak ada standar yang dibuat terkait batas kemampuan anak didik menerima penugasan dan pembelajaran. Sehingga guru tanpa sadar memberikan beban berlebih kepada anak didik yang berpotensi menciptakan stres di kalangan anak didik. 

Melihat perkembangan terakhir Covid-19, IGI pun mengusulkan Kemedikbud mengubah keputusan menyerahkan ke pemda dan orang tua soal kelanjutan belajar ini dan menggeser semester genap ke Maret 2021. Seluruh aktivitas pendidikan di bulan Januari dan Februari dikosongkan agar mobil mogok itu bisa masuk bengkel selama dua bulan. 

Selama dua bulan, seluruh guru di seluruh Indonesia agar fokus pada peningkatan kualitas diri agar mampu menghadirkan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan baik dalam format PJJ maupun dalam format tatap muka. 

Dari kalangan legislator pun meminta pemerintah mengkaji ulang rencana pembukaan sekolah pada Januari 2021. Hal tersebut menyusul masih tingginya kasus harian positif Covid-19 dalam seminggu terakhir.

Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda mengatakan, pembukaan sekolah memang solusi terbaik untuk mengatasi ancaman penurunan kemampuan belajar bagi siswa selama masa pandemi Covid-19. Namun, kian meningkatnya jumlah kasus harian positif Covid-19 dan kian penuhnya tingkat hunian rumah sakit, maka rencana pembukaan sekolah lebih baik ditunda terlebih dahulu.

Sebagai orang tua yang tahun ini kebetulan punya dua anak yang bersamaan menapaki jenjang pendidikan baru, saya menyaksikan dan merasakan sendiri kegalauan mereka. Mereka merasakan mulai lulus sekolah tanpa ujian nasional yang mendadak dihapuskan, lalu masuk sekolah baru tanpa pernah bertemu dengan kawan-kawan barunya, bertegur sapa dengan kawan-kawan dan guru-guru baru dari zoom ke zoom, mengerjakan tugas-tugas daring, hingga kadang lupa membedakan hari itu mereka sebetulnya sedang libur atau sekolah.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement