Kamis 24 Dec 2020 21:21 WIB

Pemda Bisa Jatuhkan Sanksi pada Warga yang tak Mau Divaksin

Sanksi adalah kewenangan pemda dan dapat diberikan agar masyarakat patuh.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Andi Nur Aminah
Petugas kesehatan menyiapkan vaksin saat simulasi pelayanan pelaksanaan vaksinasi Covid-19  (ilustrasi)
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Petugas kesehatan menyiapkan vaksin saat simulasi pelayanan pelaksanaan vaksinasi Covid-19 (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah darah (pemda) bisa menyusun aturan dan sanksi bagi masyarakat yang enggan mengikuti vaksinasi Covid-19. Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menjelaskan, pada prinsipnya pengenaan sanksi terkait penanganan Covid-19 adalah kewenangan pemda. Terkait vaksinasi, ujarnya, sanksi bisa diberikan untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat. "Sanksi adalah kewenangan pemda dan dapat diberikan agar masyarakat patuh dan ikut serta dalam program vaksinasi sehingga herd immunity bisa dicapai dengan mudah," kata Wiku dalam keterangan pers di kantor presiden, Kamis (24/12). 

Pemerintah memang mengejar target penduduk yang akan divaksin Covid-19 sedikitnya 67 hingga 70 persen dari jumlah penduduk atau sekitar 182 juta orang. Angka tersebut ada perhitungan mengenai batas minimal jumlah penduduk yang harus divaksin demi mencapai herd immunity atau kekebalan komunitas. 

Baca Juga

Kendati ada opsi untuk diberikan sanksi, Wiku menekankan bahwa pemerintah pusat terus mengimbau dan mengedukasi masyarakat agar memahami pentingnya vaksinasi Covid-19. Semakin banyak masyarakat yang memperoleh vaksinasi gratis, maka semakin cepat dan mudah kekebalan komunitas dicapai.  "Pemerintah juga memastikan vaksin yang akan digunakan aman, berkhasiat, dan minim efek samping dan tentunya halal," katanya. 

Pemerintah, ujar Wiku, juga terus berkoordinasi dengan pemda untuk menyiapkan fasilitas distribusi vaksin Covid-19. Secara umum kesiapan daerah terkait infrastruktur rantai dingin atau cold chain sudah memadai, bahkan mencapai 97 persen. 

"Pada prinsipnya distribusi vaksin akan dilakukan secara bertahap dan diutamakan pada populasi dan wilayah yang berisiko tinggi terjadi tingkat penularan yang tinggi," katanya. 

Sampai saat ini, produk vaksin Sinovac asal China masih dilakukan uji klinis tahap ketiga oleh Universitas Padjadjaran di Bandung dan PT Bio Farma. Uji klinis dilakukan untuk mengetahui dosis yang aman dan efek samping yang mungkin terjadi. Hasil uji klinis ini nantinya akan disampaikan kepada BPOM sebagai syarat keluarnya EUA atau autorisasi penggunaan darurat.  

Sebelumnya, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang PS Brodjonegoro juga memastikan uji klinis Vaksin Merah Putih bisa dipercepat sehingga pada akhir 2021 bisa mulai diproduksi secara massal untuk masyarakat. Ia mengatakan ada tiga pengembangan bibit vaksin yang progresnya paling cepat yakni yang masing-masing dikembangkan oleh Universitas Airlangga, Universitas Indonesia, serta Lembaga Eijkman. "Nah, perkiraannya ketiganya punya potensi menyerahkan bibit vaksin kepada Bio Farma di triwulan satu tahun depan," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement