Teropong Republika 2020-2021 berisi ulasan permasalahan penting nasional yang terjadi selama setahun belakangan. Sekaligus mencoba memproyeksikan bagaimana masalah serupa bisa diselesaikan pada tahun depan. Kita semua berharap Indonesia 2021 tentu berbeda dari situasi tahun sebelumnya. Harus bangkit dan lebih baik lagi.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Agus Yulianto
Selama 32 tahun memimpin negeri ini, banyak catatan kebanggaan dan prestasi yang ditorehkan mendiang Presiden Soeharto. Pembangunan tersebut sebenarnya dapat dilanjutkan oleh pemerintahan Indonesia saat ini dan pada masa akan datang.
Pembangunan yang cukup fenomenal di zaman orde baru adalah pembangunan sektor pertanian dengan swasembada pangannya. Betapa tidak, pada 1984 kala itu, Indonesia sukses dengan program swasembada beras.
Produksi beras nasional saat itu mencapai angka sekitar 27 juta ton. Sementara konsumsi beras dalam negeri, berada di bawah 25 juta ton. Artinya, Indonesia masih surplus beras sebanyak 2 juta ton stok beras. Dengan surplus itu pula pemerintahan Orde Baru masih mampu menyumbang 100 ribu ton beras untuk rakyat Afrika.
Tentu saja, program swasembada pangan ini mendapatkan penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pada 1985. Bahkan, pada konferensi ke-23 FAO yang dihelat di Roma, Italia, pada 14 November 1985, Direktur Jenderal FAO Dr Eduard Saoma mengundang secara khusus Presiden Soeharto untuk menyampaikan pidato di forum tersebut.
Mengingat, pangan kala itu, merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia guna dapat mempertahankan hidup. Negara yang tak mampu mencukupi kebutuhan pangannya sangat rentan terhadap gejolak, baik gejolak harga hingga tergantung pada pasokan negara lain.
Keberhasilan Soeharto itu pun diakui oleh pakar di bidang pertanian. Mereka mengatakan, bahwa swasembada pangan yang digaungkan Soeharto merupakan proyek yang bagus. Sebab, jika kita mau jadi negara yang mandiri, maka harus bisa memenuhi kebutuhan pangan sendiri. Tidak tergantung pada orang lain (impor, red).
Pangan menjadi magnet perhatian publik karena memang dampaknya yang luas, mulai dari pegawai kantoran, ibu rumah tangga, hingga asisten rumah tangga pasti mengomentari berita tentang pangan. Maka itu, pemerintah yang berkuasa harus memprioritaskan komoditas pangan.
Swasembada pangan peninggalan Pak Harto yang akan terus dikenang bangsa ini. Satu strategi yang digagas untuk memajukan sektor pertanian kala itu adalah revolusi hijau. Yakni, cara bercocok tanam dari tradisional berubah ke cara modern untuk meningkatkan produktivitas pertanian.
Revolusi hijau muncul karena adanya masalah kemiskinan yang disebabkan karena pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat, tidak diimbangi dengan peningkatan produksi pangan. Maka, gerakan yang dilakukan pemerintah Orde Baru untuk menggalakkan revolusi hijau adalah dengan intensifikasi pertanian, ekstensifikasi pertanian, diversifikasi pertanian, dan rehabilitasi pertanian. Intinya, banyak program dibuat agar negara agraris ini bisa swasembada pangan.
Pengakuan dari FAO memang merupakan prestasi bagi Indonesia. Sebab, pada era 1970-an, Indonesia adalah salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia. Indonesia mengimpor 2 juta ton beras pada 1977 dan itu mencapai sepertiga dari beras yang tersedia di pasar internasional. Situasi serupa terjadi juga di era 1980-an.
Hingga akhirnya Indonesia meraih swasembada pada 1984. Pertanyaannya, apakah ketahanan pangan nasional sudah benar-benar aman dan tidak perlu impor lagi?
Ternyata tidak juga. Meski pada 1984 itu, didaulat menjadi swasembada pangan, tapi faktanya masih ada impor, meskipun jumlahnya lebih kecil dari impor pada 1977 dan 1980.