REPUBLIKA.CO.ID, oleh Novita Intan, Sapto Andika Candra, Antara
Pertumbuhan ekonomi dunia terus terjerembap dalam angka minus akibat pandemi Covid-19. Berdasarkan OECD pertumbuhan ekonomi dunia bisa minus 4,2 persen, proyeksi IMF pertumbuhan ekonomi dunia minus 4,4 persen dan prediksi Bank Dunia minus 5,2 persen.
“Pada 2020 menurut OECD growth akan mencapai minus 4,2 persen. Ini berarti resesi yang cukup dalam atau sangat dalam, bahkan jika dibandingkan pada saat guncangan global ekonomi pada saat financial crisis 2008-2009,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani nya saat konferensi pers virtual, Senin (21/12).
Kemudian pada tahun depan, lembaga internasional juga merevisi pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia 4,2 persen, IMF memprediksi 5,2 persen, dan Bank Dunia memprediksi ekonomi dunia tumbuh 4,2 persen.
“Pada 2021 lembaga-lembaga ini melakukan juga revisi terhadap proses pemulihan,” ucapnya.
Untuk Indonesia, pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomi minus 0,9 persen hingga 2,9 persen pada kuartal empat 2020. Angka-angka itu membaik dari kuartal sebelumnya.
Sri Mulyani mengatakan secara keseluruhan 2020 pertumbuhan ekonomi akan minus 1,7 persen sampai minus 2,2 persen.
"Outlook kuartal IV negara 2,9 persen hingga 0,9 persen,” ujarnya.
Menurutnya sejumlah indikator pertumbuhan ekonomi belum membaik secara signifikan. Pada kuartal empat 2020, konsumsi rumah tangga diprediksi minus 2,6 persen hingga 3,6 persen, sedangkan konsumsi pemerintah tumbuh 3,1 persen hingga 5,1 persen.
"Ini karena Covid meningkat secara sangat pesat pada Desember dan langkah-langkah untuk melakukan pembatasan juga diketatkan, yang menyebabkan konsumsi tidak bisa mengalami normalisasi secara lebih cepat seperti semula," ungkapnya.
Sedangkan pertumbuhan investasi diprediksi minus empat persen sampai minus 4,3 persen, ekspor diprediksi minus 0,6 persen sampai minus 2,6 persen, impor diprediksi minus 15,5 persen sampai minus 18,3 persen pada kuartal terakhir tahun ini.
Sri Mulyani menyebut anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) menjadi countercyclical pada masa pandemi ini karena tumbuh mencapai 20 persen. Dari sisi lain, belanja bantuan sosial pemerintah juga mengalami pertumbuhan mencapai 80 persen.
"Namun kita lihat ini tidak bisa mengangkat keseluruhan karena faktor-faktor agregat demand seperti konsumsi, investasi, dan ekspor masih belum menunjukkan pemulihan yang sangat kuat meski sudah terjadi pembalikan,” ucapnya.
Berbicara dalam acara Outlook Ekonomi 2021 secara virtual, Selasa (22/12), Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menegaskan pemerintah akan memberikan vaksin Covid-19 secara gratis kepada seluruh masyarakat. Jokowi berharap, program vaksinasi yang akan mulai dilakukan pada awal 2021 ini dapat mendorong percepatan pemulihan ekonomi setelah terdampak pandemi.
Program vaksinasi ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan publik terkait penanganan Covid-19. Sehingga, akan timbul rasa aman di masyarakat.
“Sehingga pemulihan ekonomi diharapkan dapat berjalan dengan lebih cepat, konsumsi akan naik dan kembali normal, investasi juga diperkirakan akan meningkat karena adanya UU Cipta Kerja,” ujar Jokowi.
Jokowi mengatakan, pada 2021 nanti, pemerintah akan tetap melanjutkan kebijakan yang berdampak baik pada 2020 ini. Khususnya di bidang kesehatan terkait penanganan Covid-19 dan juga pemberian bantuan perlindungan sosial untuk rakyat.
Menurut dia, secara konsisten kebijakan pemulihan ekonomi yang dijalankan telah memberikan hasil. Pada kuartal III, pertumbuhan ekonomi Indonesia pun tercatat mengalami perbaikan meskipun masih dalam posisi minus yakni minus 3,49 persen.
“Dengan tren perbaikan seperti ini, kita berharap situasi ekonomi kita, perekonomian kita ke depan akan lebih baik dan akan membaik,” jelasnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai, peluang mengungkit pemulihan ekonomi 2021 terjadi saat program vaksinasi mulai dijalankan. Ia pun mendukung target pertumbuhan ekonomi 4,5-5,5 persen pada 2021.
“Sesuai arahan Presiden, Januari akhir nanti vaksinasi sudah bisa dilaksanakan,” ujar Airlangga.
Sebelumnya, pemerintah sudah mendatangkan vaksin Sinovac dari China sebanyak 1,2 juta dosis dan rencananya juga pada Desember ini datang 15 juta dosis bahan baku vaksin serta sebanyak 1,8 juta dosis pada Januari 2021. Selain vaksinasi, lanjut dia, implementasi UU Cipta Kerja juga akan menjadi peluang yang mendorong pemulihan ekonomi 2021.
Pemerintah, kata dia, saat ini juga sedang menyiapkan daftar prioritas investasi, hingga pembentukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang didukung sejumlah negara dengan modal awal saat ini mencapai 6 milair dolar AS. Selanjutnya, kata Airlangga, peluang lain yang bisa mengungkit ekonomi adalah program ketahanan pangan, pengembangan kawasan industri, mandatori program B-30 yang melibatkan 17 juta tenaga kerja, program padat karya serta pengembangan ekonomi digital.
“Pengembangan ekonomi digital sekarang besarnya 40 billion yang potensinya di 2025 itu sebesar 133 billion (miliar) di Indonesia dan 150 billion (miliar) di ASEAN,” katanya.
Tanda-tanda pemulihan ekonomi, lanjut dia, sudah mulai terlihat di antaranya penguatan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang pada Desember ini sudah mencapai level 6.100. Pemulihan di sektor manufaktur juga terlihat dengan perbaikan PMI Manufaktur Indonesia yang kini indeksnya mencapai 50,6.
Beberapa sektor yang tumbuh pada masa pandemi juga akan menjadi pengungkit di antaranya sektor pertanian, informasi dan komunikasi, jasa kesehatan dan pendidikan. Dari sisi komoditas, CPO, nikel, logam mulia menjadi safe heaven pada masa pandemi, serta peluang lain di pasar ekspor di antaranya ditandatanganinya perjanjian dagang RCEP antara negara ASEAN dan mitra dagang di antaranya China, Jepang, Australia, dan Selandia Baru.
“Demikian juga kerja sama Indonesia-EFTA di Eropa, CEPA Australia, CEPA Korea dan perpanjangan GSP yang tentu ini bisa mendorong untuk ditingkatkan limited trade agreement. Kerja sama ini mendorong kinerja ekspor dan memperbaiki posisi RI di global value chain,” imbuhnya.
Adapun, Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menambahkan pertumbuhan ekonomi akan minus tiga persen pada akhir tahun ini. Setidaknya ada tiga stimulus yang perlu dilakukan pemerintah untuk memperbaiki pertumbuhan ekonomi pada tahun depan.
“Pertama belanja sektor kesehatan, tahun depan berkurang drastis padahal ada kebutuhan untuk vaksin. Minimum vaksin bagi 70 persen penduduk maka minimum butuh anggaran Rp 70 triliun, ini harus diprioritaskan. Nah ini bisa diambil dari belanja infrastruktur, belanja pegawai, belanja rutin bisa digeser dari situ,” ujarnya ketika dihubungi Republika.
Menurutnya, belanja kesehatan penting karena beberapa negara sudah mengalami fase gelombang kedua penularan Covid-19. Hal yang dikhawatirkan jika Indonesia ikut memasuki gelombang kedua penularan Covid-19.
“Ditakutkan gelombang satu belum selesai ditakutkan gelombang kedua akan muncul penularan, sementara distribusi vaksin masih perlu waktu, sehingga spending dana kesehatan yang lebih besar,” ucapnya.
Kedua belanja perlindungan sosial, menurutnya, pengusaha butuh waktu bagi mereka yang pengangguran sedangkan saat ini kelas menengah yang jatuh ke orang miskin justru meningkat.
“Angka kemiskinan akan tinggi, pengangguran juga harapannya bisa diimbangi dengan belanja perlindungan sosial khusus yang pengawasannya mudah dan efektif yaitu belanja konsep transfer tunai, bukan dalam bentuk barang atau sembako,” ucapnya.
Ketiga stimulus bagi pelaku usaha UMKM, menurut Bhima, bantuan langsung tunai (BLT) bagi UMKM sudah cukup bagus tapi stimulus sebenarnya yang dibutuhkan UMKM pendampingan.
“Sekarang paling booming UMKM masuk platform digital ke ecommerce bukan hanya transfer tunai dan pendamping si penerima bantuan, sehingga bisa masuk ke dalam ekonomi digital, itu jalan mencapai tujuan pemulihan ekonomi,” ucapnya.