Selasa 22 Dec 2020 12:27 WIB
Teropong Republika 2020-2021

Tahun Penentuan Otsus di Papua

Otsus bisa menjadi pintu masuk dan momentum untuk dialog Papua-Jakarta.

Rep: Fitriyan Zamzami/Bambang Noroyono/ Red: Fitriyan Zamzami
Hagar Kegiye (12 tahun) mengerjakan tugas sekolah di warnet di, Kota Jayapura, Papua, Ahad (9/8). Siswi kelas VI SD itu tak memiliki kuota internet sehingga terpaksa menyewa layanan internet.
Foto:

Evaluasi mendesak

Sebagian pakar dan tokoh tempatan yang ditanyai Republika menilai bahwa evaluasi dan refleksi obyektif adalah hal mendesak. “Kami pikir ostsus perlu dikaji secara bersama-sama melibatkan seluruh unsur organisasi dan LSM. Gubernur, DPRP, MRP; lembaga adat, pemda, gereja, hanya dengan demikian kami dapat mengukur pencapaian otsus maupun kegagalannya,” kata pimpinan Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa), Odizeus Beanal kepada Republika.

Ia memaparkan, saat ini banyak persepsi berkembang di masyarakat Papua. Di antaranya, bahwa elite  di Papua memperkaya diri tanpa memberikan peruntukan yang jelas kepada orang asli Papua sebagai penerima manfaat. Selain itu, ada juga pandangan bahwa kewenangan otsus di Papua tidak seutuhnya diserahkan ke orang Papua namun di kontrol oleh para elite politik di Jakarta. “(Ada anggapan) seharusnya kewenangan otsus di Papua juga sama seperti mereka di Aceh yang memiliki partai lokal dan perda yang dihormati dan dijalankan oleh masyarakat Aceh,” kata Odizeus.

Perlunya evaluasi obyektif ini diiyakan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Adriana Elisabeth. “Saya selalu mengatakan, bagaimana kita mau mencapai solusi, evaluasi saja belum pernah menyeluruh. Padahal di UU Otsus disebutkan harus dilakukan evaluasi setiap tiga tahun. Hal itu memang sudah dilakukan tapi secara sepihak. Papua lakukan sendiri, pusat lakukan sendiri,”ujar Adriana yang juga mengordinasi Jaringan Damai Papua tersebut.

Dr Adriana Elisabeth tentang Otonomi Khusus Papua. 

 

Ia memaparkan, pihak-pihak yang mendorong maupun menolak otsus sejauh ini punya cara pandang yang parsial. Pemerintah pusat, misalnya, melihat bahwa kucuran dana otsus sebagai salah satu indikator keberhasilan. “Anggaran penting, tapi ia mengikuti substansi otonomi khusus terutama di bidang-bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi rakyat, infrastruktur. Nah kalau ini belum tercapai, sudah 20 tahun lho, berarti persoalannya bukan di dana,” kata Adriana. Selain itu, jika pusat terpaku pada soal anggaran, yang terjadi adalah pragmatisme.  “Pasti ada elite yang memanfaatkan. 'Kalau Jakarta bicara uang ya kita minta uang'. Tapi artinya ini tidak pernah dibahas secara benar.”

“Artinya di dalam evaluasi harusnya bukan sekadar dana otsus. Kalau otsus itu juga berfungsi sebagai resolusi konflik, di mana letak kekurangannya? Koq dengan otsus pun Papua masih terus bergejolak seperti sekarang,” ia melanjutkan.

Adriana menekankan, pembahasan otsus selanjutnya harus difokuskan pada hal yang benar-benar penting, yakni pemenuhan kesejahteraan warga Papua. Baik pemerintah pusat maupun daerah harus sama-sama bersedia dievaluasi. Jika memang pemerintah daerah di Papua punya kekurangan menjalankan otsus, hal tersebut harus ditelaah. Demikian juga jika ada pendekatan yang salah dari pusat. 

Tak bisa disangkal, penolakan otsus Papua belakangan juga disusupi anasir prokemerdekaan dan permintaan referendum yang menyoroti kegagalan otsus. Menurut peneliti LIPI lainnya Rosita Dewi, hal itu harus disikapi dengan bijak oleh pusat. “Karena tidak semua penolakan itu larinya pada keinginan pisah dari NKRI. Itu bisa hanya sebagai bentuk bargaining untuk keterlibatan elemen-elemen masyarakat Papua dalam pembahasan otsus ini,”kata dia.

Dalam hal itu, menurut Rosita, evaluasi otsus dan pembahasan kelanjutannya tahun depan sebenarnya kesempatan emas untuk rekonsiliasi. “Otsus ini sebenarnya bisa menjadi pintu masuk dan momentum untuk dialog Papua-Jakarta dalam rangka menumbuhkan trust sebagai salah satu upaya untuk penyelesaian konflik di Papua,” kata dia. n

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement