Oleh : Adi Prayitno, Dosen Ilmu Politik Fisip UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik
REPUBLIKA.CO.ID, Kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) ke Indonesia menyisakan orkestrasi politik tak berkesudahan. Mulai dari kerumunan penjemputan di bandara Internasional Soekarno Hatta, pencopotan dua Kapolda, pemanggilan dua Gubernur, hingga tudingan Ridwan Kamil soal Menkopolhukam Mahfud MD yang mesti ikut bertanggung jawab. Sampai saat ini kegaduhan politik tak kunjung usai.
Layaknya orkestra, pernak-pernik politik seputar efek kerumunan HRS terus berlanjut. Belakangan muncul pertanyaan soal mengapa otoritas politik Banten tak ikut dipanggil dimintai keterangan aparat.
Bukankah secara geografis Bandara Soekarno Hatta berada di bawah kuasa politik Banten. Lalu, muncul pertanyaan susulan apakah kepala daerah lain bakal turut dipanggil yang terbukti membiarkan kerumunan saat pendaftaran pilkada beberapa bulan lalu.
Pertanyaan genit yang sebenarnya merefleksikan suasana batin rakyat terkait kerumunan dalam penerapan protokol kesehatan yang ketat. Setidaknya untuk memberikan rasa adil publik.
Mengapa pemerintah tak mengultimatum pihak tertentu yang ngotot berkerumun saat menjemput, merayakan maulid Nabi, maupun pernikahan putri HRS di Petamburan. Mitigasi politik yang mesti dilakukan sejak awal. Bukan malah panik seteleh banyak kerumunan terjadi dimana-mana. Sejak awal, memang terlihat ada ‘perlakuan berbeda’ soal HRS karena tak seketat biasa.
Dalam perspektif politik, berbagai rentetan politik semacam ini bukan perkara kebetulan. Apalagi muncul artis yang tiba-tiba mengomentari HRS. Pasti ada sesuatu di panggung belakang (back stage) yang tak diketahui khalayak. Entah itu apa semuanya masih serba remang dan gelap gulita.Satu hal yang jelas, semua peristiwa politik yang terjadi belakangan pasti ada muara dan aktor politik yang memainkannya.
Massa akar rumput sibuk berkelahi tanpa tahu persis apa yang sebenarnya terjadi. Publik kembali terbelah ekstrem saling serang. Udara politik bising penuh dengan polusi caci maki. Perkongsian Jokowi dan Prabowo nyatanya tak sanggup meredam pembelahan suara arus bawah. Pastinya ada yang salah dengan bangsa ini.