Oleh : Adi Prayitno, Dosen Ilmu Politik Fisip UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik
Komsumsi Politik
Suka tak suka, HRS kadung menjadi konsumsi politik papan atas. Segala hal yang terkait dengan pernyataan dan aktivitasnya memantik ketegangan. Saat ini, HRS dijadikan simbol tokoh oposisi yang berdiri tegak lantang menantang pemerintah. Bagi pengikutnya, HRS idola karena sikapnya yang berani vis a vis pemerintah bahkan negara. Sebaliknya, bagi yang kontra HRS dinilai memecah belah dan mengadu domba.
Setelah Prabowo mantap berkongsi dengan Jokowi, publik yang anti Jokowi dan ingin ganti presiden saat Pemilu 2019 mencari sosok baru yang bisa dijadikan media meluapkan amunisi perang terhadap pemerintah. Tak berlebihan kiranya jika setiap sikap agresif HRS selalu tranding dan viral disokong barisan yang saat pemilu lalu sebenarnya mendukung Prabowo.
Publik yang memendam kecewa terhadap pemerintah tak melulu mengapitalisasi Anies Baswedan sebagai simbol politik oposisi. Mereka juga menyalurkan sikap kritis melalui HRS yang dianggap konsisten melawan kekuasaan dari luar.
HRS dipersepsikan sebagai figur pemberani tak pernah kenal rasa takut, tak tergiur aroma menyengat kekuasaan, dan seterusnya. Satu diskursus politik yang sengaja diproyeksikan untuk terus merawat simpati publik oposan.
Jika ditelisik lebih ditail, barisan pendukung HRS adalah mereka yang dulu pendukung utama Prabowo saat pilpres tahun lalu. Saat ini, mereka harus berhadapan dengan realitas politik pahit bahwa sosok yang sempat mereka sanjung puji harus dilawan karena berada dalam satu kolam koalisi pemerintah.
Inilah paradoks politik maharumit yang sukar dinalar. Apalagi nyaris tak ada sikap politik apapun dari Prabowo terkait kisruh HRS makin menambah benang kusut persoalan politik yang sedang terjadi.
Dari kubu pemerintah, hanya Mahfud MD yang terlihat sibuk menangkis serangan dari berbagai penjuru arah mata angin terkait HRS. Saban hari Menkopolhukan asal Madura itu terus di-bully tanpa henti, tanpa jeda, tanpa ampun.
Bahkan rumah orang tuanya digeruduk ratusan massa. Publik bertanya, kemana elite politik pendukung Jokowi lainnya. Suara mereka tak pernah terdengar menangkal agresivitas serangan pendukung HRS yang kerap berdenyut menyerukan resistensi dari luar.