Jumat 11 Dec 2020 19:35 WIB

BPIP: Bangun Kota Toleran dengan Kebijakan Antidiskriminasi

Benny Susetyo menyebut kota toleran terlihat dari pendirian rumah ibadah

Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Antonius Benny Susetyo menjadi pembicara dalam acara Design Workshop tentang Tata Kelola Kota Toleran pada Jumat (11/12).
Foto: BPIP
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Antonius Benny Susetyo menjadi pembicara dalam acara Design Workshop tentang Tata Kelola Kota Toleran pada Jumat (11/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Antonius Benny Susetyo menjadi pembicara dalam acara Design Workshop tentang Tata Kelola Kota Toleran pada Jumat (11/12).

Acara yang diselenggarakan secara online oleh Setara Institute membahas tentang 5 kota toleran yang terpilih yaitu Bogor, Surakarta, Malang, Bandung, dan Makassar. Dalam penjelasannya Benny menegaskan bahwa hal yang paling mendasar yang bisa dilihat dari kota toleran adalah pendirian rumah ibadah.

"Hal paling mendasar adalah pendirian rumah ibadah karena dari sinilah bisa  tercermin apakah pemerintah memberikan ruang kepada kelompok minoritas," jelasnya.

Lebih lanjut dirinya mengatakan bahwa kepala daerah tidak boleh tunduk kepada kaum intoleran."Perlu diingat bahwa kepala daerah dan semua pemangku kekuasaan tidak boleh tunduk pada kaum intoleran. Karena salah satu tugasnya menjamin kerukunan masyarakat," tambah Benny.

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dijelaskan Benny harus berfungsi dan perhatiannya harus pluralis. Kebijakan pemerintah daerah juga harus diperhatikan jangan sampai ada diskiriminasi.

"Variabel kebijakan pemerintah daerah kepada publik apakah masih ada diskiriminasi baik pada pegawai maupun kepada masyarakat Apakah ada eksklusivitas seperti pemakaman tidak ada diskiriminasi kepada kaum minoritas," pungkasnya.

Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) berpendapat hal yang sama mengenai output dari pelayanan publik yang tidak boleh ditemukan adanya diskriminasi dan harus terbuka dengan keberagaman."Output pelayana publik dr layanan dasar hingga kesehatan juga harus memperhatikan tanpa adanya diskirimnasi," ujarnya.

Salah satu peserta jalannya diskusi Agnes Dwi menyampaikan perlunya pemerintah merangkul komunitas siber untuk membantu membangun perspektif mengenai toleransi."Pemerintah harus menyentuh komunitas siber yang aktif di media sosial dan punya kekuatan di medisos dalam mebangun perspektif," ujar Agnes.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement