REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Febrianto Adi Saputro, Dessy Suciati Saputri
Pemajuan demokrasi dan penegakan hak asasi manusia (HAM) pada era Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai mengalami kemerosotan yang mengkhawatirkan. Sejumlah pegiat sipil dan hak asasi, serta para akademisi hukum meyakini, belum ada gambaran cerah di tahun mendatang bagi pemajuan demokrasi, dan hak asasi dari sejumlah peristiwa pembungkaman, dan pengabaian yang dilakukan penguasa di tahun pertama periode kedua kepemimpinan Jokowi.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid dalam diskusi daring ‘Evaluasi Akhir-Tahun Isu HAM Era Jokowi & Kekerasan Negara’ yang digelar LP3ES, Rabu (9/12) menjelaskan, ada sejumlah peristiwa, maupun gerak politik sepanjang 2020 yang bisa menjadi indikator penilaian kualitas demokrasi dan HAM di Indonesia saat ini. Pertama, kata dia, tentu dari sisi demokrasi yang mewajibkan pentingnya jaminan dari pemerintahan tentang kebebasan berpendat, dan berekspresi.
Menurut Usman, banyak sekali aksi-aksi kebebasan berpendapat di masa sekarang, berujung pada pemidanaan, maupun penuntasan di luar ketidakpatutan. Sejumlah peristiwa tersebut, yang membenarkan sejumlah survei media massa, maupun lembaga masyarakat yang menyebutkan tingginya angka ketakutan masyarakat dalam berpendapat.
Bahkan survei Indikator, Usman melanjutkan, menyebutkan hampir 70-an persen masyarakat Indonesia saat ini, gamang memberikan pendapat, maupun kritik terkait politik, maupun pemerintahan.
“Yang pertama, jelas kita melihat adanya kemunduran dalam soal kebebasan sipil ini,” ujar Usman.
Kemunduran kedua, kata Usman, pun terjadi dalam bidang politik. Pemerintahan Jokowi yang tak memberi ruang kepada kelompok oposisi elite dari partai politik, menciptakan garis oposisi jalanan yang berasal dari kalangan akar rumput, pun aktivis, termasuk mahasiswa-mahasiswa.
Akan tetapi, gelombang oposisi jalanan tersebut, pun mendapat reaksi keras dari pemerintah, berupa pembungkaman, dan pemanfaatan hukum untuk berlindung dari reaksi oposan.
“Yang kedua, pun kita melihat jelas, kita mengalami kemunduran dalam politik yang tidak memberikan ruang kepada opisisi di tingkat atas (elite partai), maupun oposisi yang muncul dari arus bawah yang juga mendapatkan reaksi represif,” terang Usman.
Usman mencontohkan, munculnya kantong-kantong oposisi seperti KAMI, maupun oposisi yang muncul karena sentimen keagamaan, seperti kelompok-kelompok Islam, pun mendapatkan stabilo merah bagi pemerintah lantaran cap sepihak dari penguasa, dan pihak nonnegara.
Usman Hamid juga menyoroti kemunduran demokrasi dan pemajuan HAM kini lantaran terbukanya panggung penguatan aktor keamanan dari Polri maupun TNI, bahkan BIN. Pemerintah, Usman nilai mendapatkan benefit, dari keberpihakan aktor-aktor utama keamanan tersebut untuk terlibat dalam krisis komunikasi antara masyarakat dengan penguasa terkait situasi sosial, hukum dan politik.
Bahkan aktor-aktor keamanan tersebut, terlibat sebagai perpanjangan tangan penguasa dalam menangkis kritis publik terhadap penguasa.
“BIN misalnya, kita tahu digunakan untuk afiliasinya dengan partai PDI Megawati. Kepolisian, juga kita lihat bagaimana aktifnya dalam memberikan dukungan kepada pemerintah. Dan TNI mengalami fenomena baru saat ini, ikut terlibat dalam masalah-masalah sipil, sepertipenurunan baliho, dan penyidikan kepolisian terkait FPI,” terang Usman.
Menurut Usman, satu-satu kondisi demokrasi dan yang masih relatif dapat diandalkan, yakni hak warga negara ikut dalam partisipasi pemilihan.
Peneliti LP3ES Lya Anggraini dalam diskusi tersebut menjabarkan, Indonesia saat ini memang menjadi sorotan lembaga-lembaga pemerhati internasional, sebagai salah satu negara dengan tingkat kemorosotan terburuk dalam pemajuan demokrasi dan HAM. Indonesia, pun mengalami degradasi dari daftar negara-negara demokrasi dan HAM.
Lya mengacu pada Global Peace Index 2020 Vision of Humanity dari Institute for Economic and Peace yang meletakkan Indonesia sebagai negara yang merosot. “Indonesia turun enam angka pada rangking 49, dari 83 (negara),” begitu kata Lya.
Herlambang Wiratman, dari Pusat Studi Hukum dan HAM Universitas Airlangga, pun mengatakan serupa. Herlambang menyoroti serangkaian peristiwa pengerdilan terhadap ruang kebebasan sipil disertai kekerasan yang terjadi sepanjang 2020.
Menurutnya, kondisi tersebut yang diperparah dengan adanya impunitas atau tidak adanya pertanggungjawaban hukum terkait persoalan tersebut menunjukan bahwa komitmen pemerintah di bidang HAM sangat lemah.
"Apa yang kita saksikan hari ini adalah sebenarnya komitmen yang sangat lemah dari komitmen pemerintah jokowi terkait dengan hak asasi manusia," kata Herlambang dalam diskusi yang sama.
Herlambang mengatakan pengerdilan ruang kebebasan sipil terjadi sejak Presiden Joko Widodo berkuasa. Bahkan, hingga saat ini dirinya tidak melihat adanya kesungguhan pemerintahan untuk secara sungguh-sungguh berbicara tentang hak asasi manusia.
"Bahkan sebaliknya kekerasan demi kekerasan dianggap hal yang biasa saja," ujarnya.
Menurut catatannya, ada serangkaian peristiwa pengerdilan kebebasan sipil yang terjadi selama tahun 2020 ini. Diantaranya kekerasan terhadap ekspresi penolakan Undang-Undang Cipta Kerja, serangan digital, doxing, kemudian serangan terhadap jurnalis.
Selain itu, adanya kriminalisasi terhadap ekspresi kritik kebijakan seperti yang terjadi terhadap Jerinx, kemudian kriminalisasi atas aktivitas penolakan ekspansi perkebunan, tambang, dan konflik agraria, kasus penembakan pendeta Yeremia, dan penembakan enam anggota FPI
"Ini adalah fakta yang saya kira kita harus serius, negara harus bertindak dengan mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia, kalau nggak ini praktek yang dianggap normal-normal saja," ungkapnya.
Kemudian dirinya juga menyoroti tujuh model tekanan dan ancaman kebebasan akademik. Antara lain yaitu serangan siber terhadap aktivitas akademik, pendudukan kampus maupun lembaga riset oleh otoritas negara, serangan terhadap presma, penggunaan peradilan; kriminalisasi dengan dalih pencemaran nama baik, atau gugatan untuk bungkam akademisi.
Selain itu serangan terhadap mahasiswa dan kriminalisasi dalam kasus melawan rasisme Papua #Papualivesmatter dan solidaritas Papua, ekskalasi penangkapan/penahanan dalam aksi, dan skorsing terhadap mahasiswa.
Herlambang mengambil kesimpulan tersebut, dengan mengacu pada jurnal Greg Fealy, Jokowi in the Covid-19 Era: Repressive Pluralism, Dynasticism and the Overbaering State, yang mengatakan, Jokowi sengaja ataupun tidak sengaja memainkan militer, dan intelijen menjadi promotor dalam memperbesar dalam keterlibatan militern dan intelijen dalam ruang-ruang sipil. Dan yang memiliterkan politik untuk menekan masyarakat.
“Sebagai penanda bahwa sitauasi (demokrasi dan HAM Indonesia) akan semakin memburuk,” kata Herlambang.
Saat memberikan sambutan acara Peringatan Hari HAM Sedunia Tahun 2020 secara virtual, Kamis (10/12), Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan komitmen pemerintah dalam memberikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM. Menurut dia, komitmen ini menjadi pilar penting bagi Indonesia untuk menjadi bangsa yang lebih beradab, tangguh, dan juga maju.
Ia melanjutkan, pemerintah akan terus berupaya menuntaskan masalah HAM masa lalu secara bijak dan bermartabat.
“Kita harus bekerja sama menyelesaikannya dan mencurahkan energi kita untuk kemajuan bangsa,” ujar Jokowi.
Jokowi mengatakan, telah menugaskan Menko Polhukam untuk terus melanjutkan penyelesaian masalah HAM masa lalu hingga hasilnya diterima semua pihak, termasuk dunia internasional. Lebih lanjut, menurutnya, komitmen kuat pemerintah dalam penegakan HAM telah dituangkan dalam rencana aksi nasional HAM 2020-2025.
“Hak sipil, hak politik, serta ekonomi dan sosial, serta budaya harus dilindungi secara berimbang dan tidak ada satupun yang terabaikan,” tambah Jokowi.
Di tengah pandemi Covid-19 yang mengakibatkan krisis kesehatan dan ekonomi, pemerintah juga berupaya untuk terus memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain bekerja keras menghambat penyebaran virus dan mencegah kematian, Jokowi mengatakan pemerintah juga memberikan bantuan ekonomi bagi masyarakat yang tidak mampu dan juga bagi UMKM.
“Kita harus menjaga agar pandemi tidak memperburuk pemenuhan hak asasi masyarakat,” tambahnya.