REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar menjadi pembicara kunci dalam Webinar #3 Menggali Potensi Permodalan Desa dengan tema UU Cipta Kerja Solusi BUMDes Mengakses Permodalan di Perbankan yang digelar secara virtual oleh Lokadata, Kamis (3/12). Dalam webinar tersebut, Mendes menegaskan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) resmi menjadi badan hukum.
Gus Menteri, sapaan akrabnya menegaskan, posisi BUMDes setelah lahirnya Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 ini semakin luar biasa dan jawaban atas persoalan kesulitan akses permodalan. Pasalnya, sebelumnya, BUMDes kesulitan karena bukan Badan Hukum.
"BUMDes menjadi Badan Hukum setelah lahirnya UU Cipta Kerja ini dan memang ini telah ditunggu. Kami pun bergerak cepat untuk menyusun Rencana Peraturan Pemerintah dengan mengundang Kementerian Hukum dan HAM untuk dapat masukan, saran dan pemikiran soal posisi BUMDes sebagai Badan Hukum," kata Gus Menteri dalam keterangan pers kepada wartawan.
Setelah itu, dilanjutkan diskusi Lintas Kementerian yang akhirnya disepakati jika posisi BUMDes setelah UU Cipta Kerja sebagai Badan Hukum Entitas Baru yang kedudukannya setara dengan Perseroan Terbatas (PT), setara dengan BUMN pada level nasional dan BUMD pada level daerah. Doktor Honoris Causa dari UNY ini mengatakan, regulasi di BUMDes berbeda dengan Badan Hukum lainnya dengan payung hukum yang digunakan berbeda, otoritatifnya juga berbeda.
"Kedudukan BUMDes sebagai badan hukum menjadi kunci pengembangan di masa-masa akan datang, dimana sejak awal sepakat kalau ujung tombak penguatan ekonomi di desa dalam representasi Pemerintah dan Masyarakat Desa adalah BUMDes," kata Abdul Halim.
Lantas bagaimana BUMDes resmi dikatakan sebagai Badan Hukum? Mendes mengatakan, Desa adalah entitas khusus yang miliki karakteristik tertentu dan di UU Desa diberikan kekhususan, termasuk soal kemandirian desa yang sudah miliki setting budaya berbeda.
BUMDes dinyatakan sebagai Badan Hukum dimulai ketika Desa sudah menetapkan peraturan desa yang merupakan produk Musyawarah Desa disahkan dan ditandatangani oleh Kepala Desa.
Namun karena BUMDes perlu aturan main berskala nasional maka dalam RPP yang disusun, maka BUMDes harus dapatkan registrasi dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) yang bertujuan untuk menghindari sejumlah hal seperti kesamaan nama. Olehnya, pencantuman nama desa menjadi sebuah keharusan.
Setelah proses registrasi di Kemendes, kemudian dilanjutkan ke Kementerian Hukum dan HAM untuk didokumentasikan. Ini dilakukan karena sebagai badan hukum, BUMDes bisa membuat badan hukum baru seperti Perseroan Terbatas (PT).
"Registrasi ini juga dikirimkan ke Kementerian Koperasi dan UKM serta kementerian terkait lainnya," kata Mantan Ketua DPRD Jawa Timur ini.
Mendes PDTT menegaskan jika satu desa hanya boleh mendirikan satu BUMDes jadi dipastikan jumlahnya tidak bakal melebih jumlah desa sebanyak 74.953. Namun, jika berkaitan dengan BUMDes Bersama (BUMDesma), maka setiap desa bisa miliki lebih dari satu. "Ini tergantung kebutuhan untuk usaha bersama antara desa yang pada hakekatnya untuk peningktan kesejahteraan masyarakat desa melalui penguatan ekonomi di desa dan Pendapatan Asli Desa," kata Mantan Ketua DPRD Jombang ini.
Pendirian BUMDes juga tidak dibatasi terkait zonasi dan wilayah. Gus Menteri mencontohkan Desa di Klaten mislanya bisa saja membangun kerja sama desa di Aceh atau wilayah lain asal ada kesamaan tujuan dan visi.