Kamis 03 Dec 2020 14:26 WIB

Sekolah Tatap Muka, IDAI: Perhitungkan Positivity Rate

IDAI ingatkan sejumlah hal yang perlu menjadi pertimbangan dalam sekolah tatap muka.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Reiny Dwinanda
Sebagian peserta didik SMPN 6 Ungaran Satu Atap, Desa Lerep, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang terus mempersiapkan diri menghadapi Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di Sekolah melalui pembiasaan penerapan prokes di lingkungan belajarnya, Jumat (27/11). IDAI mengingatkan ada banyak pertimbangan untuk membuka kembali sekolah.
Foto: Republika/bowo pribadi
Sebagian peserta didik SMPN 6 Ungaran Satu Atap, Desa Lerep, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang terus mempersiapkan diri menghadapi Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di Sekolah melalui pembiasaan penerapan prokes di lingkungan belajarnya, Jumat (27/11). IDAI mengingatkan ada banyak pertimbangan untuk membuka kembali sekolah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengingatkan bahwa pandemi Covid-19 masih berlangsung. IDAI pun menyoroti beberapa hal penting yang perlu diperhatikan terkait rencana pembelajaran secara tatap muka di sekolah per Januari 2021.

"Pada saat ini ternyata keadaan belum membaik dan terdapat ketidaksamarataan (inequality), baik dalam hal data maupun dalam hal penanganan Covid-19 di Indonesia," ujar Ketua Pengurus Besar IDAI Dr dr Aman B Pulungan SpA(K) FAAP FRCPI (Hon) dalam Seminar Media IDAI yang dihelat secara virtual, disimak di Jakarta, Kamis (3/12).

Baca Juga

Dr Aman menilai, kebijakan untuk membuka sekolah di tiap daerah harus meminta pertimbangan dari dinas kesehatan dan organisasi profesi kesehatan setempat. Dalam hal ini, penting untuk memerhatikan apakah angka kejadian dan angka kematian Covid-19 di daerah tersebut masih meningkat atau tidak.

"Tolong melihat juga positivity rate di masing-masing daerah," jelas dr Aman.

Idealnya, menurut dr Aman, sekolah terbilang aman untuk dibuka kembali bila daerah tempat sekolah tersebut berada memiliki positivity rate di bawah lima persen. Namun, penentuan positivity rate di tiap daerah ini perlu diimbangi dengan kapasitas pemeriksaan yang sesuai dengan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Ketika ada daerah yang tidak sesuai standar WHO untuk pemeriksaannya, tentu positivity rate-nya menjadi agak rancu untuk kita interpretasikan," tutur dr Aman.

Di samping itu, dr Aman juga mengingatkan bahwa pembukaan sekolah untuk kegiatan pembelajaran tatap muka memiliki risiko tinggi terhadap terjadinya lonjakan kasus Covid-19. Peningkatan jumlah kasus Covid-19 yang signifikan pasca pembukaan kembali sekolah telah dilaporkan di banyak negara.

"Itu terjadi sekalipun negara maju seperti Korea Selatan, Prancis, Amerika," ungkap dr Aman.

Risiko penularan Covid-19 juga tak hanya dapat ditemukan di lingkungan sekolah, tetapi juga di perjalanan dari dan menunju sekolah. Sebuah studi di Australia, misalnya, menemukan ada sembilan murid dan sembilan guru serta pegawai yang tertular Covid-19 di lingkungan sekolah pasca pembukaan kembali sekolah.

Sementara itu, di Singapura, penerapan protokol yang ketat dapat mencegah terjadinya penularan Covid-19 di lingkup sekolah. Namun, ditemukan adanya kasus penularan Covid-19 di moda transportasi. Dr Aman menilai, para murid mungkin lengah ketika berada di moda transportasi sehingga penularan terjadi.

Oleh karena itu, dr Aman menilai tiap daerah perlu melakukan perhitungan dan persiapan yang sangat matang bila memutuskan untuk membuka kembali sekolah dan kegiatan pembelajaran tatapmuka. Kesiapan sarana dan prasarana di lingkungan sekolah hingga transportasi perlu diperhatikan dengan saksama.

"Hal seperti ini yang harus kita minta kesiapan semua daerah, nilai kembali semua ini, baru kita mengatakan (sekolah) dibuka," ungkap dr Aman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement