REPUBLIKA.CO.ID, oleh Djoko Suceno, Rizky Suryarandika, Arif Satrio Nugroho, Antara
Kapolda Jabar Inspektur Jenderal Polisi Ahmad Dofiri, menegaskan, laporan Wali Kota Bogor Bima Arya terkait RS UMMI tak bisa dicabut. Sebab, menurutnya, laporan tersebut bukan delik aduan.
"Ini bukan delik aduan, tapi pidana murni. Kalau pidana murni, kepolisian wajib menangani dan mengusutnya," kata dia kepada para wartawan, Senin (39/11) di Mapolda Jabar.
Menurut Dofiri, Wali Kota Bogor itu diyakininya tidak akan mencabut laporannya terhadap Dirut RS UMMI. Laporan tersebut LP/650/XI/2020/JBR/Polresta Bogor Kota.
"Saya ingin menjelaskan, pertama saya tidak yakin wali kota sungguh-sungguh menyatakan itu (akan mencabut laporannya). Sebab ini bukan kasus delik aduan," kata jenderal polisi bintang dua peraih Bintang Adhi Makayasa angkatan 1989 ini.
Menurut penilaian Dofiri, persoalan Habib Rizieq Shihab (HRS) yang diketahui tidak ada di ruangan perawatan RS UMMI bukanlah poin penting."Apakah HRS kabur atau meninggalkan rumah sakit, saya perlu klarifikasi itu bukan poin penting," kata dia.
Dikatakan Dofiri, HRS datang ke rumah sakit tersebut secara diam-diam. Dan saat meninggalkan rumah sakit pun secara diam-diam pula.
"Satgas Covid datang untuk mengklarifikasi dan ada indikasi penolakan. Menghalangi tugas Satgas Covid dan sampai akhirnya yang bersangkutan juga meninggalkan rumah sakit dengan diam-diam. Silakan publik sendiri yang menilai, apakah itu kabur atau meninggalkan rumah sakit," tutur dia.
Pihak RS UMMI, Pemkot Bogor, Satgas Covid-19 Bogor dan otoritas terkait memang telah menggelar konferensi pers bersama di Balai Kota Bogor, Ahad (29/11) petang. Dalam pertemuan itulah, Bima sepakat mencabut laporannya karena ada itikad baik dari RS UMMI untuk melaksanakan perbaikan.
"Kemarin Insya Allah semua urusan selesai. Kita lihat perkembangannya lagi," kata Direktur Umum RS UMMI Bogor Najamudin kepada Republika, Senin (30/11).
Setelah Wali Kota Bogor mencabut laporan polisi, Najamudin meyakini pihaknya akan lolos dari jeratan hukum. Hingga saat ini, Najamudin menyebut belum mendapat panggilan kepolisian baik dari Polres Bogor maupun Bareskrim Polri. Ia menilai, hal tersebut sebagai hasil pertemuan pada Ahad kemarin dimana semua pihak sepakat berdamai.
"Pemanggilan hari ini oleh polisi belum ada tindak lanjut. Karena dari awal (Ahad) Kang Bima cabut pelaporan," ujar Najamudin.
Sebelumnya, Kapolresta Bogor Kota Komisaris Besar Polisi Hendri Fiuser mengatakan pihaknya telah menerima pengaduan dari Satgas Penanganan Covid-19 Kota Bogor terkait dugaan adanya upaya menghalangi Tim Satgas Penanganan Covid-19 Kota Bogor oleh Direksi RS UMMI. Berdasarkan amanah UU Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, pada pasal 14 menyebutkan, barang siapa yang menghalang-halangi tentang penyebaran wabah penyakit menular dapat diancam pidana satu tahun.
"Kami menjadwalkan memanggil Direksi Rumah Sakit UMMI, pada Senin (30/11) besok (hari ini)," katanya, Ahad (29/11).
Hendri menjelaskan sejak menerima laporan pengaduan, pada Sabtu (28/11) dini hari, Polresta sudah meminta keterangan beberapa saksi pelapor, khususnya dari Tim Satgas Penanganan Covid-19 Kota Bogor. Laporan disertai bukti-bukti berupa rekaman video maupun dokumen lainnya.
"Kami masih menindaklanjuti laporan tersebut," katanya.
Sebagaimana diketahui, tes swab yang dilakukan HRS secara diam-diam berbuntut panjang. Selain laporan polisi, Satgas Covid-19 Kota Bogor, Jawa Barat mempertimbangkan pemberian sanksi keras kepada RS UMMI tempat pimpinan Front Pembela Islam (FPI) itu dirawat.
Koordinator Bidang Penegakan Hukum dan Pendisiplinan Satgas Covid-19 Kota Bogor, Agustiansyach mengatakan, saat ini Satgas Covid-19 Kota Bogor tengah mengkaji sanksi dengan landasan Peraturan Wali Kota (Perwali) No. 107 Tahun 2020 tentang Sanksi Administratif Pelanggar Tertib Kesehatan.
"Denda di Perwali PSBMK itu maksimal Rp 50 juta. Namun, kami akan kaji dulu apa nanti (RS Ummi) akan dikenakan denda atau pencabutan izin operasional," kata Agustian kepada awak media di Balai Kota Bogor, Sabtu (28/11) malam.
Namun, dalam keterangan pers kemarin, Bima Arya yang juga ketua Satgas Penanganan Covid-19 Kota Bogor membantah opini yang berkembang bahwa Satgas Penanganan Covid-19 Kota Bogor melakukan intervensi. "Satgas Covid-19 sama sekali tidak melakukan intervensi, tapi hanya menjalankan tugas sesuai amanah undang-undang, Peraturan Menteri Kesehatan, serta Keputusan Wali Kota Bogor," katanya.
Aturan tersebut, katanya, antara lain UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang mengatur soal kewenangan pemerintah dalam penanganan Covid-19, UU Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran. "Permintaan kepada Rumah Sakit UMMI untuk meminta pasien menjalankan tes swab dan sebelumnya telah disepakati oleh manajemen rumah sakit, itu adalah ranah Pemerintah Kota Bogor," katanya.
Menurut dia, tugas Pemerintah Kota Bogor melalui Satgas Penanganan Covid-19 hanya satu, yakni melindungi warga Kota Bogor dan mengatasi penyebaran Covid-19 di kota itu. Menurut Bima, dalam pelaksanaannya satgas melihat ada hal yang tidak jelas terkait pada proses dan prosedur di Rumah Sakit Ummi Kota Bogor yang tidak sesuai dengan aturan dalam undang-undang dan Peraturan Menteri Kesehatan, yakni tidak berkoordinasi dengan dinas kesehatan dan pemerintah daerah.
Bima Arya menegaskan, selama ini semua rumah sakit di Kota Bogor selalu berkoordinasi dengan dinas kesehatan dan Pemerintah Kota Bogor. "Kalau kami menyarankan untuk tes swab, soal identitas pasien tidak akan dibuka dan diumumkan, karena ini terikat dengan rahasia kedokteran," katanya.