REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam mengatakan pengurus baru Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus mampu menjaga netralitas, independensi, dan integritas kelembagaannya.
"Pengurus baru MUI harus mampu menjaga netralitas, independensi, dan integritas kelembagaannya, baik untuk kerja-kerja sosial keumatan di dalam negeri maupun di luar negeri," kata Khoirul Umam yang juga Direktur Eksekutif Romeo Strategic Research & Consulting (RSRC) di Jakarta, Jumat (27/11).
Khoirul mengatakan menengok kembali rekam jejak lahirnya MUI, organisasi itu sebetulnya dibentuk pada era Orde Baru untuk menghadapi kekuatan Islam yang dianggap berseberangan dengan pemerintah. Saat itu, kata dia, legitimasi umat Islam tetap dipandang penting untuk menyukseskan kerja-kerja politik negara.
Karena itu, saat Gus Dur masih menjadi Ketua Umum PBNU, sempat menolak bergabung dalam MUI. Namun, menurut dia, seiring berjalannya waktu, utamanya era reformasi, MUI bisa memposisikan diri sebagai titik temu dari seluruh ormas Islam di Indonesia.
"Dengan terpilihnya Rais Aam PBNU KH Miftachul Achyar sebagai Ketua Umum MUI menggantikan KH Ma'ruf Amin yang saat ini menjadiWapres RI, maka MUI harus mampu melakukan beberapa hal," kata dia.
MUI, menurut dia, harus mampu merepresentasikan diri sebagai "rumah bersama" bagi seluruh Ormas Islam di Indonesia. MUI harus mampu menjadi meeting point seluruh elemen stakeholders umat Islam di Indonesia.
"Jangan sampai ada elemen umat Islam yang merasa tidak terwakili aspirasinya," kata dia.
Kemudian, MUI juga harus menjaga netralitas, independensi, dan integritas lembaganya, jangan sampai ada pihak-pihak yang memanfaatkan legitimasi sosial-keagamaan MUI untuk kepentingan politik praktis masing-masing. MUI juga harus mampu mengelola dinamika internalnya dan mampu mengayomi kelompok minoritas dari umat agama lain di Indonesia.
"Tunjukkan Islam rahmatan lilalamin. Netralisir pihak-pihak yang memperuncing perbedaan dan membentur-benturkan kelompok baik di dalam maupun di luar umat Islam," ucapnya. MUI, kata dia, hadir untuk membantu mewujudkan ruang demokrasi yang lebih sehat di Indonesia yang bebas dari eksploitasi politik identitas, menguatnya fake news, hoaks dan ujaran kebencian dengan menggunakan narasi keagamaan.
Khoirul Umam mengatakan MUI harus mampu menjaga muruah kelembagaan dan jadi pengayom berkembangnya ruang demokrasi yang lebih terkonsolidasi dengan baik. Transparansi dan akuntabilitasnya sebagai lembaga yang mendapatkan alokasi dana negara dan juga memegang monopoli kewenangan sertifikasi halal juga harus menjadi poin penting lainnya.
"Jangan sampai hal itu justru memunculkan problem transparansi yang justru bisa mencoreng integritas kelembagaan MUI," kata dia.
Selain itu, MUI juga harus lebih aktif hadir sebagai representasi umat Islam Indonesia di tingkat dunia. Islam Indonesia yang merupakan kekuatan Muslim terbesar di dunia harus lebih mewarnai dalam upaya penciptaan perdamaian dunia.
Caranya, kata Khoirul Umam, melalui kerja-kerja dialog antarumat agama maupun memberikan advokasi terhadap kelompok minoritas Islam yang terdiskriminasi di negara-negara lain. "Berikan pendampingan dan lebih aktif dalam penciptaan perdamaian dunia," ujarnya.