REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VIII DPR RI, Bukhori Yusuf angkat bicara terkait pencopotan Kepala KUA Tanah Abang karena dianggap mengabaikan protokol kesehatan (prokes) saat menjalankan tugas pencatatan pernikahan putri Habib Rizieq Shihab (HRS). Dia menilai, pencopotan itu inkonsisten dan terkesan politis.
“Apakah Kemenag seolah-olah ingin menjadi pahlawan kesiangan dengan memanfaatkan situasi panas yang terjadi akhir-akhir ini? Pasalnya, saya tidak menemukan penindakan serupa oleh Kemenag terhadap sejumlah Kepala KUA yang juga terlibat dalam sejumlah acara pernikahan yang turut mengundang kerumunan di masa pandemi sebelum polemik HRS ini mencuat," kata Bukhori saat dikonfirmasi melalui keterangan tertulisnya, Selasa (24/11).
Ketua DPP PKS ini merujuk pada kontroversi pesta pernikahan yang digelar oleh mantan Kapolsek Kembangan pada bulan Maret tahun 2020 silam dan acara resepsi pernikahan yang diselenggarakan oleh Kepala Kantor Kemenag Jombang pada bulan Oktober di tahun yang sama. Kedua acara pernikahan tersebut menjadi polemik di tengah publik karena dianggap mengabaikan protokol kesehatan selama pandemi.
Alhasil, Kapolsek Kembangan dan Kepala Kantor Kemenag Jombang sebagai pihak penyelenggara terpaksa menerima sanksi berupa pencopotan dan mutasi dari masing-masing instansinya. Meskipun demikian, belum terdengar kabar dari Kemenag apakah Kepala KUA setempat turut dicopot akibat pelanggaran prokes tersebut.
Sebelumnya, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Tanah Abang Sukana dibebastugaskan dari tugas tambahannya sebagai kepala KUA. Selanjutnya, Sukana dimutasi sebagai penghulu di wilayah Jakarta Pusat.
“Sukana mulai hari ini tidak lagi mendapat mandat tugas tambahan sebagai kepala KUA. Sukana dimutasi sebagai penghulu di Kemenag Jakarta Pusat,” kata Dirjen Bimas Islam Kamaruddin Amin dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin (23/11).
Bukhori pun meminta, supaya Kemenag bisa bersikap secara proporsional. Alasannya, tindakan pencopotan Kepala KUA dinilai sebagai respons yang berlebihan mengingat tanggung jawab Kepala KUA hanya pada ranah administratif dan bukan pada ranah penentuan kebijakan strategis.
Di sisi lain, Bukhori juga menganggap terjadinya kerumunan pada acara pernikahan putri Habib Rizieq merupakan kondisi force majeure sehingga bila terjadi pelanggaran prokes, maka tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada Kepala KUA.
Dia menilai, Kemenag harus menjelaskan kepada publik seperti apa bentuk pelanggaran prokes yang dilakukan oleh Kepala KUA tersebut sehingga membuatnya dicopot.
"Sebab, jika dalihnya adalah karena menciptakan kerumunan, sesungguhnya itu di luar kuasa Kepala KUA dan justru salah alamat bila dia yang harus dimintai pertanggungjawaban,” ujar Bukhori.
Berdasarkan Inpres No 6 Tahun 2020 tentang Pengendalian Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 disebutkan bahwa dalam hal pengawasan pelaksanaan prokes di masyarakat dilakukan oleh TNI dan Polri dalam rangka memberikan dukungan kepada Gubernur, bupati/wali kota.
“Dengan demikian, saya memandang bahwa pihak yang memiliki kekuatan dan wewenang untuk penegakan disiplin prokes di masyarakat adalah kepala daerah yang diperbantukan oleh aparat. Sehingga, jika terjadi dugaan pelanggaran prokes di satu tempat, maka yang harus dimintai pertanggungjawaban adalah mereka,” kata dia.
Lebih lanjut, Bukhori meminta supaya Kemenag tidak latah dalam mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan secara cermat landasan hukum yang berlaku serta faktor sosiologis di lapangan.
"Hal ini perlu dilakukan untuk memelihara profesionalisme dan netralitas Kemenag dalam merespons dinamika yang terjadi di masyarakat," ujarnya menambahkan.