REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernyataan Panglima Kodam Jaya dan Panglima TNI soal kerisauan terhadap keutuhan bangsa dan negara belakangan ini dinilai sangat kental dengan nuansa masa lalu dan menunjukkan arogansi tentara. Terlebih kerisauan itu tak disertai dengan hal-hal yang konkret mengenai bentuk dan tensi ancaman yang dimaksud.
"Pernyataan Pangdam Jaya maupun sebelumnya oleh Panglima TNI memang terkesan sangat kental nuansa masa lalu. Ada kesan arogansi, menakut-nakuti dan menunjukkan lembaga-lembaga lain lemah sehingga TNI harus turun tangan di situ," ungkap Peneliti militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, kepada Republika, Senin (23/11).
Menurutnya, kerisauan terhadap keutuhan bangsa dan negara itu tak disertai hal-hal yang konkret dan spesifik mengenai bentuk dan tensi ancaman, selain problem politik, hukum, dan keamanan. Dia mengatakan, tiga problem terakhir sebetulnya juga merupakan domain lembaga-lembaga lain, bukan TNI.
"Saya tak akan terlalu jauh menyinggung soal netralitas dan profesionalitas, karena bagaimanapun akan selalu ada pintu masuk bagi TNI untuk ikut terlibat dalam urusan penyelenggaraan negara. Tapi TNI tetap harus diingatkan agar tak terlalu jauh masuk ke ruang politik melampaui mandatnya," kata dia.
Fahmi mengungkapkan, memang sulit untuk membayangkan patriotisme dan heroisme tentara hadir tanpa disertai antusiasme tinggi dan kepeloporan. Antusiasme serta kepeloporan itu, kata dia, justru tak jarang malah berpotensi mengancam demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia (HAM), dan ketentuan hukum.
Pada akhirnya, menurut Fahmi, kata kunci peran dan kiprah TNI tetaplah politik negara. Sepanjang ada kebijakan dan keputusan politik negara yang mendasari, manuver dan tindakan itu akan aman dan sah bagi TNI, apapun bentuknya.
"Bahwa manuver dan tindakan itu mungkin menabrak ketentuan perundang-undangan, itu soal lain," jelas dia.
Sebelumnya, Pangdam Jaya, Mayjen TNI Dudung Abdurachman, mengingatkan, agar jangan ada yang berani mengganggu persatuan di Jakarta. Hal itu ia sampaikan ketika merespons pertanyaan terkait pimpinan FPI Habib Rizieq Shihab (HRS).
"Jangan coba-coba mengganggu persatuan dan kesatuan yang ada di Jakarta. Kalau mencoba-coba mengganggu, itu akan saya hajar nanti," kata Dudung saat memimpin Gelar Pasukan Kesiapan Menghadapi Pilkada Serentak Tahun 2020 dan Penanggulangan Bencana Banjir di Jakarta di Silang Monas, Jakarta Pusat, Jumat (20/11).
Mendengar pernyataan Dudung lewat pengeras suara itu, pasukan TNI pun bertepuk tangan. "Nah, semua prajurit mendukung," kata Dudung.
Sementara itu, Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto menekankan, pentingnya perstauan dan kesatuan demi menjaga stabilitas negara. Hadi meminta agar masyarakat tak termakan provokasi dan ambisi yang menyebabkan hilang persatuan dan kesatuan bangsa.
"Saudara-saudara sekalian. Saya ingin menyampaikan kembali, pentingnya persatuan dan kesatuan dalam menjaga stabilitas nasional," kata Hadi di Subden Denma Mabes TNI, Jakarta Pusat, samping Istana Kepresidenan pada Sabtu (14/11) malam WIB.
Hadi berpesan, TNI tidak bisa membiarkan persatuan dan kesatuan bangsa di Indonesia hilang atau dikaburkan oleh provokasi dan ambisi yang dibungkus dengan berbagai identitas. "Seluruh prajurit TNI adalah alat utama pertahanan negara, untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia," kata mantan KSAU tersebut.
Hadi menekankan, tidak satu pun musuh yang dibiarkan, apalagi melakukan upaya berupa ancaman dan gangguan, terhadap cita-cita luhur bangsa dan negara Indonesia. "Ingat! Siapa saja yang mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa, akan berhadapan dengan TNI. Hidup TNI. Hidup rakyat. NKRI harga mati," kata Hadi.