Jumat 13 Nov 2020 00:09 WIB

Walhi Tolak Hadir RDPU UU Cipta Kerja, Ini Alasannya

Agenda acaranya adalah mendengarkan masukan mengenai penggunaan kawasan hutan.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Muhammad Fakhruddin
Walhi Tolak Hadir RDPU UU Cipta Kerja, Ini Alasannya. Aktivis Walhi Indonesia saat melakukan aksi damai  di depan Gedung MPR/DPR, Jakarta, Kamis (9/7/2020). Dalam aksinya mereka menolak  RUU Omnibus Law Cipta Lapangan kerja.
Foto: ANTARA/RENO ESNIR
Walhi Tolak Hadir RDPU UU Cipta Kerja, Ini Alasannya. Aktivis Walhi Indonesia saat melakukan aksi damai di depan Gedung MPR/DPR, Jakarta, Kamis (9/7/2020). Dalam aksinya mereka menolak RUU Omnibus Law Cipta Lapangan kerja.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) kembali menegaskan untuk menolak UU Cipta Kerja, terutama terkait pelaksanaan penggunaan dan pelepasan kawasan hutan. Penolakan ini ditandai dengan penolakan hadir pada RDPU UU Cipta Kerja hari ini.

DPR dan Pemerintah dinilai terus memaksakan proses inkonstitusional terhadap UU Cipta Kerja. Pada tanggal 11 November 2020 WALHI telah menerima surat dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tertanggal 9 November 2020 dengan nomor surat PW/13062/DPR RI/XI/2020 dengan hal Undangan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang akan di selenggarakan pada tanggal 12 November 2020 pukul 10.00 WIB. 

Agenda acaranya adalah mendengarkan masukan mengenai penggunaan dan pelepasan kawasan hutan dan tindak lanjut diundangkannya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap pelaksanaan penggunaan dan pelepasan kawasan hutan.

Direktur Eksekutif WALHI Nur Hidayati menjelaskan, secara mendasar ada tiga alasan WALHI menolak hadir undangan pembahasan omnibus law/ UU Cipta Kerja ini. 

"Pertama, kami menilai bahwa produk regulasi ini inkonstitusional, dan kami menolak terlibat dan dijadikan justifikasi, baik langsung maupun tidak langsung dalam proses-proses tersebut," kata Nur Hidayati dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Kamis (12/11).

Kedua, secara prosedural, dan proses formil undang-undang ini telah cacat, bahkan menabrak UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan secara materiil, hampir secara keseluruhan UU ini bermasalah, melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia, dipaksakan isinya tanpa memiliki landasan, dan secara terang benderang merupakan bagian dari State Capture Corruption.

Dalam konteks subtansi pembahasan RDPU, kata Nur, setidaknya ada tiga hal yang paling bermasalah, termasuk kaitannya dalam UU Cipta Kerja Cilaka. 

Pertama, UU cipta kerja melakukan 'pemutihan' kejahatan korporasi, dengan membiarkan keterlanjuran industri ektraktif (Perkebunan dan Pertambangan) dalam Kawasan hutan. "Alih-alih mengatur penegakan hukum, justru diberi ruang waktu untuk melengkapi administrasi hingga 3 tahun," kata Nur.

Kedua, Pasal afirmatif perlindungan Kawasan hutan justru dihapus UU Cipta Kerja, sehingga batas minimum Kawasan hutan sebesar 30 persen pada satu wilayah dihapus.

Ketiga, hal paling mendasar, terlebih terkait kejahatan korporasi, telah dikebiri. Khususnya dalam Kawasan hutan, justru pasal strict liability/pertanggung jawaban mutlak pada pasal 88 di UU PPLH redaksinya diubah, sehingga tidak lagi menjadi konsepsi pertanggungjawaban mutlak dalam penegakan hukum kejahatan korporasi dalam kejahatan lingkungan hidup. 

"Bagi kami UU Cipta Kerja (CILAKA) ini merupakan puncak pengkhianatan negara terhadap hak-hak rakyatnya," kata Nur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement