REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL - Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Turki mengkritik pemberlakuan UU Cipta Kerja (Ciptaker) di hadapan rombongan DPR RI saat melawat ke Istanbul pada Rabu (4/11) waktu setempat. Staf Khusus Koordinator PPI Dunia Fajar Haqi yang juga mahasiswa pascasarjana Universitas Kocaeli, Turki, Ketua PPI Istanbul Adib Lutfi, dan Kepala Bidang Relasi dan Opini Publik PPI Dunia Fauzul Azhim memberikan hasil kajian PPI Dunia yang menyoroti tujuh poin UU Ciptaker.
Dalam rilis yang diterima Republika, kajian tersebut memuat sejumlah poin. Pertama, tim kajian menganggap dalam proses menuju pengesahan UU Ciptaker tidak ada perspektif kewargaan. PPI Dunia melihat ada kesan terburu-buru dan belum sepenuhnya menerapkan prinsip keterlibatan publik.
"Kedua, kurangnya penerapan prinsip keterbukaan dan penyebaran informasi dalam proses pengesahan RUU menjadi UU Ciptaker," tulis PPI Turki dalam rilis yang diterima Republika, Sabtu.
Ketiga, terdapat kontinjensi risiko terhadap kepastian hukum turunan yang masih akan diatur kemudian melalui Peraturan Pemerintah (PP). PPI Dunia meminta pihak terkait untuk mengawal turunan kebijakan UU Ciptaker dalam PP yang akan dikeluarkan pada kemudian hari.
"Perwakilan pelajar dunia di Turki juga meminta pemerintah menerapkan prinsip pelibatan publik dalam pembentukan PP," kata PPI Turki.
Keempat, UU Ciptaker tidak sepenuhnya mencerminkan implementasi kebijakan desentralisasi. Tim kajian menganggap hal ini tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi yang diusung pasca reformasi.
Kelima, terdapat potensi semakin lemahnya upaya untuk menjaga dan melestarikan lingkungan di sekitar industri. Tim kajian menyoroti dalam proses penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), masyarakat yang diizinkan untuk dilibatkan hanya yang terkena dampak langsung. Pemerhati lingkungan dan masyarakat yang tidak terpengaruh langsung tidak disebutkan dalam pasal.
Keenam, kebijakan di bidang pertanahan untuk kepentingan umum belum sepenuhnya memperhatikan kesejahteraan rakyat. Ketujuh, problematika pendirian Lembaga Pengelola Investasi (LPI) dan pemusatan kewenangan Proyek Strategis Nasional pada Pasal 165.
UU Ciptaker belum menjelaskan sektor apa yang dijadikan fokus utama dalam investasi. Undang-undang itu juga memberikan kewenangan besar bagi pemerintah pusat dan daerah untuk membebaskan lahan dan memberikan izin usaha bagi Proyek Strategis Nasional.
Hal yang menjadi masalah adalah ketiadaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Kondisi ini juga kontradiktif dengan misi Presiden Joko Widodo yang ingin mereformasi birokrasi menjadi lebih sederhana.
"Justru kehadiran lembaga itu memperbesar struktur birokrasi. Jika LPI dibentuk, konsekuensinya adalah pemerintah harus merekrut pegawai-pegawai dan membuat alur birokrasi baru kembali. Lembaga ini juga rawan konflik kepentingan," kata Sekretaris Jenderal Savran Billahi memberikan keterangan secara terpisah.
Hasil kajian ini langsung diterima oleh Wakil Ketua DPR RI Aziz Syamsuddin. Dia menganggap kajian ini akan memberikan sudut pandang lain dalam mengawal pemberlakuan UU Ciptaker.
"Kajian akademis ini saya terima dengan baik, karena saya percaya bahwa ini akan memberikan pandangan-pandangan lain serta masukan yang nantinya akan menjadi pertimbangan bagi DPR RI," kata dia.