Rabu 04 Nov 2020 19:22 WIB

Guru Besar Unpad Kritisi Cara Perbaikan UU Ciptaker

Profesor Susi Dwi Harijanti menyoroti kesalahan redaksional UU Cipta Kerja.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Andri Saubani
Saksi ahli yang merupakan pakar hukum tata negara Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti (tengah) menyampaikan pendapatnya pada sidang uji formil atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (4/3/2020).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Saksi ahli yang merupakan pakar hukum tata negara Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti (tengah) menyampaikan pendapatnya pada sidang uji formil atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (4/3/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Susi Dwi Harijanti menanggapi terkait adanya kesalahan redaksional di dalam Undang-Undang 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ia pun mempertanyakan dasar hukum adanya praktik distribusi II pada sejumlah undang-undang lain yang juga ditemui kekeliruan setelah diundangkan.  

"Ketentuan distribusi II itu apakah diatur tidak di dalam UU 12 tahun 2011? Kan itu yang penting," kata Susi kepada Republika, Rabu (4/11).

Baca Juga

Susi mengatakan, meskipun praktik distribusi II pernah dijalankan, tapi bukan berarti praktik itu dibenarkan. Alasannya, karena UU 12 Tahun 2011 pada dasarnya mengatur Undang-Undang tentang prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan.

"Terjadi praktik distribusi II ini belum tentu dapat dibenarkan, meskipun kesalahannya kesalahan teknis penulisan. Orang enggak bisa mengatakan bahwa ini hanya kesalahan administrasi, ini kesalahan teknis penulisan, bagaimanapun juga kesalahan-kesalahan itu terjadi pada prosedur," ujarnya.

Susi menjelaskan, bahwa di dalam batang tubuh UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak terdapat mekanisme perbaikan lagi setelah dilakukan pengesahan. Sehingga, menurutnya tidak tepat jika DPR dan pemerintah melakukan distribusi II.

"Apa dasar hukumnya?" ucapnya.

Untuk melakukan perubahan kesalahan pada UU Cipta kerja, Susi menyarankan, dilakukan dengan cara merevisi undang-undang tersebut. "Jadi kalau pun mau memperbaiki ya harus melalui mekanisme yang sudah disediakan oleh UU dasar. Ya harus ada RUU perubahan itu nanti," tuturnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mengatakan, bahwa mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kesalahan redaksional pada UU Cipta Kerja masih dapat diperbaiki.

Hal serupa menurutnya juga pernah terjadi pada undang-undang lainnya.

Pertama, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kedua, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Mesuji di Provinsi Lampung.

"Kedua undang-undang tersebut diperbaiki pada distribusi kedua naskah resmi yang disebarluaskan kepada masyarakat dan pemangku kepentingan terkait," ujar Willy saat dikonfirmasi, (4/11).

 

photo
Fakta Angka UU Cipta Kerja - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement