Selasa 03 Nov 2020 16:02 WIB

Serikat Buruh Menaruh Harapan Besar kepada MK

Kaum buruh Indonesia merasa memiliki kewajiban mengingatkan kepada hakim konstitusi.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Agus Yulianto
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) menyampaikan sejumlah pernyataan sikap usai menggelar aksi 2 November 2020 kemarin. Presiden KSPI Said Iqbql mengatakan bahwa  buruh sangat menaruh harapan yang besar kepada MK untuk mampu menggali, menyingkap, dan menemukan kebenaran yang hakiki dari proses pengujian Undang-Undang Cipta Kerja. 

Said meminta, kepada Mahkamah Konstitusi (MK) agar dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pengujian Undang-Undang Cipta Kerja, tidak sekedar berorientasi pada kebenaran yang bersifat formalistik.

"Sebab, jika Yang Mulia Hakim Konstitusi hanya bersandarkan pada kebenaran yang bersifat formal, maka kebenaran yang berada dibalik layar (the underlying truth) atau kebenaran yang sejati tidak akan pernah dapat ditemukan,"  kata Said dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Senin (2/11).

 

Said juga meminta, kepada hakim MK dalam memutus perkara agar melandaskan diri pada keyakinan terhadap hati nurani, yaitu keyakinan yang mendalam berdasarkan keimanan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. 

"Kaum buruh Indonesia merasa memiliki kewajiban untuk mengingatkan kepada Yang Mulia Hakim Konstitusi, bahwa sebelum menduduki jabatannya para Hakim Konstitusi Yang Mulia telah bersumpah dihadapan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, dengan diawali perkataan suci: 'Demi Allah'. Semua putusan Mahkamah Konstitusi pun diawali dengan kata-kata: 'demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa'," ucapnya.

Kelompok buruh juga meminta agar hakim MK tidak sekedar mengandalkan bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon, tetapi juga diharapkan  inisiatif, dan secara aktif dapat menggali sendiri kebenaran materiil dari Undang-Undang Cipta Kerja yang kelak akan diuji.

Sebab menurutnya MK merupakan peradilan konstitusional tingkat pertama dan terakhir yang putusan yang bersifat tetap dan mengikat.

"Dalam konteks ini kaum buruh Indonesia mengharapkan Mahkamah Konstitusi dapat mengambil peran yang maksimal sebagai ‘judex factie’," ujarnya.

Selain itu, Said mengimbau, agar hakim MK sungguh-sungguh memperhatikan aspirasi yang telah disuarakan oleh buruh. Menurutnya, suara kaum Buruh Indonesia bersama masyarakat yang turun ke jalan sudah sewajarnya diperhatikan dan dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi, serta dipandang sebagai nilai-nilai moral dan politik yang hidup di tengah masyarakat.

"Nilai-nilai yang disebut sebagai 'konstitusi yang tidak tertulis' itu, tempatnya diatas, atau setidaknya disamping konstitusi tertulis," tuturnya.          

Terakhir, buruh juga meminta kepada MK agar dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pengujian Undang-Undang Cipta Kerja, benar-benar dapat menunjukan kekuasaanya  sebagai penjaga marwah konstitusi (the guardian of the constitution), sebagai pelindung hak-hak konstitusional warga negara (the protector of the citizens constitutional right), dan sebagai pelindung hak asasi manusia (the protector of human right). 

"Sebab, sebagaimana telah disuarakan oleh banyak pihak, Undang-Undang Cipta Kerja telah sungguh-sungguh mengangkangi Undang-Undang Dasar 1945, melanggar hak-hak konstitusional kaum buruh dan masyarakat, serta telah benar-benar menista hak asasi manusia," ungkapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement