Ahad 01 Nov 2020 06:33 WIB

Budaya Ilmu dalam Islam dan Masalah Pendikotomiannya

Islam adalah agama yang mengajarkan budaya yang berdimensi sosial yang sangat tinggi

Baitul Hikmah era modern di Baghdad, Irak.
Foto:

Dikotomi Ilmu dan Dualisme Pendidikan di Indonesia

Apa yang terjadi saat ini adalah sebuah keadaan dimana umat Islam menjadi sangat terpengaruh dengan pendikotomian ilmu yang berasal dari peradaban sekuler barat ini. Khususnya umat Islam di Indonesia, dimana sistem pendidikan yang kita jalankan sekarang adalah sistem pendidikan dikotomi ilmu yang sekuler yang dibawa oleh bangsa barat, khususnya bangsa-bangsa penjajah Negara ini, seperti Belanda, Inggris, dan bangsa-bangsa sekutu mereka.

Persolaan dikotomi ilmu tersebut memang tak lepas dari kungkungan metodologi dan  epistimologi keilmuan barat. Mengangungkan ilmu pengetahuan (akal) dan menyingkirkan peran agama didalamnya, memang  bagian yang tak bisa terpisahkan dari metodologi mereka. Sejak periode modern, post-modern hingga saat ini identitas tersebut masih sangat melekat pada tradisi mereka.

Persoalan yang tetap aktual dibicarakan dalam dunia pendidikan di Indonesia hingga saat ini adalah dikotomi ilmu dan dualisme pendidikan. Hal ini disebabkan, masalah tersebut masih tetap saja terjadi, meskipun sudah cukup banyak pembahasan atau bahkan sudah ada tindakan yang dilakukan untuk mengatasinya. Sebagian orang menyamakan maksud dari dikotomi dan dualisme tersebut, karena mereka melihat pada aspek kemenduannya. Tetapi, sesungguhnya ada hal prinsip yang membedakannya, jika dikotomi itu biasanya berkaitan dengan isi atau konten materi, sedangkan dualisme lebih ditujukan pada sistem pengelolaannya.

Wujud dari dikotomi ilmu itu adalah terjadinya pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum di sekolah/madrasah. Sedangkan wujud dari dualisme itu lebih ditekankan pada pengelolanya, seperti pengelolaan pendidikan di Indonesia ini yang berada di bawah dua kementerian, yaitu Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama. 

Dampak dari dikotomi ilmu  sebenarnya sangatlah besar, dan persoalan ini juga yang  menjadi salahsatu   faktor kemunduran pada umat Islam saat ini. Realitas tersebut sederhana dapat dilihat, misalnya dalam dunia pendidikan, banyak  sarjana agama yang mengabaikan dan tidak paham ilmu umum sehingga tidak mampu  menjawab problematika keilmuan dan tekhnologi modern, sehingga menghambat penyebaran nilai-nilai Islam dalam ranah yang lebih luas.  Juga sebaliknya, banyak sarjana umum yang tidak paham agama, sehingga berefek pada dekadensi moral, dan tentu ini merusak nilai kemurnian ilmu itu sendiri. di sinilah terlihat ketidak seimbangan, ketika sarjana agama hanya mampu menguasi ranah Syariat dan sarjana umum yang hanya ahli di bidang umum.

photo
Sejumlah santri memaknai kitab kuning saat mengaji Kilatan Kitab di Pondok Pesantren Almiizan, Sukaraja, Bogor, Jawa Barat, Rabu (15/5). - (Republika/Putra M. Akbar)

Akibat Pendikotomian Ilmu

Kondisi pendikotomian ilmu juga disebabkan karena adanya keyakinan dalam masyarakat bahwa agama dan ilmu adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah sendiri, yang terpisah antara satu dan lainnya, baik dari objek formal maupun material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masing-masing bahkan sampai ke institusi penyelenggaranya. Ilmu tidak mempedulikan agama dan agama tidak mempedulikan ilmu.

Kaum skeptic mengklaim agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas, padahal sains bisa melakukan hal tersebut. Agama bersikap diam-diam dan tidak mau memberikan petunjuk bukti kongkrit tentang keberadaan Tuhan. Di pihak lain sains mau menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan “pengalaman”. Agama tidak bisa melakukan hal tersebut dengan cara yang bisa memuaskan pihak yang netral (Haught, 2004: 4).  

Lebih jauh mereka sering mengatakan bahwa agama dilandaskan pada asumsi-asumsi apriori atau keyakinan. Sedangkan sains, tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai benar. Selain itu agama terlalu bersandar pada imajinasi liar, sedangkan sains bertumpu pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu emosional dan penuh gairah, dan subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak, tidak terlalu bergairah, dan objektif.

Dalam dunia pendidikan, pemisahan antara ilmu dan agama ini berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan kemunduran dunia Islam pada umumnya. Umat Islam akan terus menglami dehumanisasi apabila sains, dan terutama penghampiran rasional terhadap problem-problem kemanusiaan, dipandang terpisah dari kebudayaan Islam.

Ilmu-ilmu sekuler yang dikembangkan di Perguruan Tinggi Umum dan ilmu-ilmu agama yang dikembangkan di Perguruan Tinggi Agama secara terpisah, yang sekarang ini berjalan, sedang terjangkit krisis relevansi (tidak dapat memecahkan banyak persoalan), mengalami kemandekan dan kebuntuan (tertutup untuk pencarian alternatif-alternatif yang lebih mensejahterakan manusia) dan penuh bias-bias kepentingan. Untuk itulah diperlukan penyatuan epistemologi keilmuan sebagai sarana untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang serba kompleks dan tidak terduga pada millennium ketiga serta tanggung-jawab kemanusiaan bersama secara global dalam mengelola sumber daya alam yang serba terbatas dan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement