REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pancasila merupakan perpaduan nilai-nilai yang diambil dari agama, nilai universal masyarakat lokal, dan nilai universal dunia. Perpaduan nilai-nilai ini membuat Pancasila bisa diterima sebagai ideologi negara dan masyarakat Indonesia.
"Muslim Indonesia tidak meragukan Pancasila karena nilai-nilai universalnya. Karena nilai-nilai Pancasila juga diturunkan dari Islam," ungkap Sekretaris Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Dr. Abdul Mu’ti M.Ed.
Hal ini disampaikan Abdul Mu’ti dalam seminar internasional bertajuk “Islam Rahmatan Lil Alamin, Pancasila and Commission on Unalienable Rights: Safeguarding and Strengthening a Rules-Based International Order in the 21st Century Founded upon Shared Civilizational Values” yang diselenggarakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bekerja sama dengan Gerakan Pemuda (GP) Ansor dalam rangka peringati hari Santri Nasional dan Hari Sumpah Pemuda yang digelar baik secara luring maupun daring pada Rabu (28/10).
Penerimaan Muslim Indonesia atas Pancasila membuat Indonesia menjadi negara yang unik. Meski berpenduduk mayoritas Muslim, Islam tidak dijadikan sebagai dasar negara. “Pancasila bukanlah ideologi Islam, tapi tidak bertentangan dengan Islam. Kedudulan Pancasila seperti inilah yang disebut oleh sebagian pengamat sebagai ideologi negara yang religious,” ujar Abdul Mu’ti.
Menurut Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan ini, rincian nilai-nilai Pancasila yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam bisa ditemui dalam batang tubuh UUD 1945 yang menekankan hak, kebebasan sekaligus tanggung jawab warga negara.
Keseimbangan antara hak, kebebasan dan tanggung jawab warga negara menjadi kunci penting tercapainya perdamaian dan jawaban atas tantangan kekinian seperti krisis lingkungan. Menurut Abdul Mu’ti, salah satu medium peningkatan kesadaran peran warga dalam mempromosikan perdamaian adalah melalui pendidikan.
"Pendidikan bisa menjadi piranti untuk mentransformasikan ketidakadilan yang menjadi penghambat perdamaian. Selain memenuhi hak dasar warga negara, pendidikan bisa mendorong tumbuhnya generasi yang akan menjadi pelopor perubahan," tuturnya.
Dalam sesi panel seminar yang sama, juga hadir KH Yahya Cholil Staquf (Katib Aam PBNU), Rikard Bagun PhD (Anggota Dewan Pengarah BPIP), dan Cartwright Weiland (anggota biro perencanaan kebijakan, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat). Seminar dibuka oleh Kepala BPIP, Prof Drs KH Yudian Wahyudi, dan dihadiri oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Prof Muhadjir Effendy, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoli, Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah, Sekjen PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, dan Wakil Ketua Dewan Pengarah BPIP Jendral (Purn) Try Sutrisno. Seminar diselenggarakan secara hybrid melalui daring dan luring. Protokol kesehatan covid-19 diberlakukan untuk semua peserta luring dengan memakai masker dan menjaga jarak.