Senin 26 Oct 2020 20:33 WIB

Kasus Positif Covid-19 Melandai, Tapi Suspek Meningkat

Gap antara jumlah kasus positif Covid dan suspek dinilai bisa memicu silent outbreak.

Tenaga medis melakukan tes usap terhadap warga di Kecamatan Rappocini, Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (23/10/2020). Pemerintah Kota Makassar kembali melaksanakan tes usap gratis secara masif di Kecamatan Rappocini, Biringkanayya, Tallo dan Mamajang yang menjadi episentrum penularan COVID-19.
Foto: ANTARA/Arnas Padda
Tenaga medis melakukan tes usap terhadap warga di Kecamatan Rappocini, Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (23/10/2020). Pemerintah Kota Makassar kembali melaksanakan tes usap gratis secara masif di Kecamatan Rappocini, Biringkanayya, Tallo dan Mamajang yang menjadi episentrum penularan COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Inas Widyanuratikah, Rizky Suryarandika,

Nawir Arsyad Akbar, Antara

Baca Juga

Di tengah menuju jumlah total kasus positif Covid-19 di angka 400 ribu, Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid 19 belakangan menyampaikan bahwa kasus aktif Covid-19 di Indonesia saat ini dalam persentase terkecil. Namun, sebagian epidemiolog justru mengkritisi angka-angka yang dirilis satgas.

Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif contohnya. Ia menilai, kurva kasus positif yang cenderung melandai justru dibarengi dengan peningkatan jumlah suspek. Itu artinya, kapasitas pemeriksaan spesimen saat ini berkurang.

Syahrizal mengatakan, kapasitas pemeriksaan di sebagian besar wilayah Indonesia masih belum memenuhi standar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Di daerah-daerah di luar kota besar, hasil pemeriksaan Covid-19 bagi suspek bisa lebih dari tiga hari.

"Jadi memang problem suspek itu tinggi karena kapasitas pemeriksaan spesimen kita belum memadai. Yang memadai baru di Jakarta dan Sumatera Barat, begitu. Tapi di daerah-daerah, lama sekali kita baru mendapatkan hasil pemeriksaan," kata Syahrizal dihubungi Republika, Senin (26/10).

Sebagai ilustrasi, tercatat 63.556 kasus aktif Covid-19 per Ahad (25/10). Jumlah ini lebih rendah daripada angka suspek 168.918 orang. Dengan demikian banyak suspek tapi tidak dites.

Menurut Syahrizal, sejak September 2020 hingga Oktober 2020, ia tidak melihat adanya peningkatan pemeriksaan spesimen. Pemeriksaan yang dilakukan hanya berkisar 30 ribu hingga 40 ribu spesimen per harinya.

Ia menjelaskan, jika satu harinya pemeriksaan dilakukan pada 40 ribu orang maka biasanya peningkatan kasus positif akan mencapai 4.500-an. Namun, jika pemeriksaan spesimen hanya dilakukan kepada 33 ribu orang maka hasilnya akan sekitar 3.000-an.

"Kapasitas itu jelas tidak memadai. Bahkan, kapasitas pemeriksaan di Filipina hampir tiga kali lebih baik dari kapasitas pemeriksaan kita," kata dia lagi.

Epidemiolog dari Universitas Griffith, Australia Dicky Budiman juga pemerintah serius mengatasi pandemi Covid-19, salah satu dengan meningkatkan tes Covid-19. Tujuan meningkatkan kapasitas tes adalah agar mencegah gap suspek dengan kasus aktif.

Dicky menekankan prinsip mencegah daripada mengobati harus dijunjung tinggi oleh pemerintah. Apalagi untuk saat ini, vaksin Covid-19 masih dalam tahap penelitian dan uji coba di seluruh dunia.

"Ini harus dicegah dan diantisipasi. Prinsip pencegahan lebih baik harus dipegang teguh. Karena banyak mudharatnya kalau terinfeksi," kata Dicky pada Republika, Senin (26/10).

Semakin lebarnya jurang pemisah antara jumlah suspek Covid-19 dan individu yang dites Covid-19, menurut Dicky akan memunculkan potensi silent outbreak atau pandemi senyap. Dicky menyebut gap antara jumlah suspek dengan individu yang dites makin menjauh sejak akhir Agustus lalu.

"Karena artinya jumlah tes tidak seimbang dengan eskalasi pandeminya. Ini jadi salah satu indikator (buruknya penanganan Covid-19)," kata Dicky pada Republika, Senin (26/10).

Dicky meminta pemerintah dan masyarakat mewaspadai potensi pandemi senyap yang bisa saja muncul sewaktu-waktu. Sebab, Covid-19 sudah semakin sulit dideteksi keberadaannya yang menyusup di tengah masyarakat.

Tiap individu bisa saja menjadi pembawa virus tanpa mengetahuinya. Kemudian individu tersebut berpeluang menularkan virusnya ke orang terdekat tanpa menyadarinya.

"Ada potensi bahaya karena menandakan jumlah orang yang bawa virus di masyarakat jauh lebih besar dan tidak terdeteksi. Inilah silent spreader (penularan senyap), silent outbreak," ujar Dicky.

Klaim Satgas dan Menkes

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto membantah rasio tes Covid-19 di Indonesia di bawah standar WHO. Ia mengeklaim, rasio tes di Indonesia sudah di atas standar tersebut.

"Kita sudah di atas 43-45 ribu per hari. Padahal kalau dengan 270 juta penduduk itu sekitar 38 ribu lebih dikit, artinya sudah memenuhi," ujar Terawan dalam diskusi yang digelar Partai Golkar, Selasa (20/10) pekan lalu.

Penanganan Covid-19 di Indonesia juga disebutnya semakin baik. Hal itu bisa dilihat dengan tingkat kesembuhan pasien yang terinfeksi berada di atas 70 persen, yang dinilainya luar biasa.

"Angka kematian terus turun bayangin dulu sampai 9,5 persen lebih sekarang sudah 3,45 persen, dan terlihat tiap hari mengalami penurunan. Artinya, kerja keras luar biasa dari semua komponen masyarakat terutama para dokter perawat di garda depan," ujar Terawan.

Namun, ia mengakui bahwa tes Covid-19 di Indonesia belumlah merata. Hal ini, kata Terawan, disebabkan oleh kondisi geografisnya.

"Tidak merata karena menyangkut juga daerah wilayah penduduk, kapasitas dengan negara kepulauan yang sangat berbeda dengan negara lain," ujar Terawan.

Kalau dibandingkan dengan negara lainnya, kemampuan tes Indonesia memang jauh tertinggal. India misalnya, mampu melakukan 56.271 tes per 1 juta penduduk. Kemudian Brazil, mampu melakukan 84.057 tes per 1 juta penduduk. Perlu diingat, India, dan Brazil, sama-sama memiliki populasi penduduk di atas 200 juta orang seperti Indonesia.

Ketua Satuan Tugas Penganan Covid-19 Doni Monardo pada Kamis (22/10) pekan lalu mengatakan, kemampuan Indonesia dalam melakukan pemeriksaan menguji spesimen Covid-19 telah meningkat jauh dibandingkan masa awal pandemi. Menurut Doni, standar WHO untuk pemeriksaan dengan negara berpenduduk 267 juga orang seperti Indonesia adalah 267 ribu orang per pekan. Sementara saat ini, rata-rata Indonesia mampu memeriksa sampel sekitar 33 ribu orang atau 231 ribu orang per pekan.

"Ini peningkatan yang luar biasa pada awal kita melakukan pemeriksaan laboratorium itu, kemampuan kita mungkin hanya belasan persen saja dari standar yang ditetapkan WHO dan sekarang sudah berada pada posisi 82,51 persen. Sebuah angka yang harus kita akui cukup membanggakan," kata Doni.

Menurut Doni, awalnya banyak pihak yang pesimistis Indonesia tidak mampu atau kurang serius melakukan pemeriksaan Covid-19. "Tapi ternyata sekarang sudah sangat bagus sekali," tegasnya.

Awalnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan 10 ribu spesimen per hari pada periode April-Mei 2020 tapi kemudian targetnya meningkat menjadi 30 ribu spesimen. Saat ini, Indonesia telah bisa melakukan pengujian lebih dari 40 ribuspesimen per hari.

Doni mengakui bahwa pada awal pandemi, kemampuan Indonesia untuk melakukan pengujian spesimen memang rendah karena keterbatasan laboratorium dan ketiadaan teknologi untuk mengujinya. Namun, berkat kerja keras semua komponen, Satgas Covid-19 mengadakan pengadaan reagen dan mesin PCR.

Pengadaan itu didistribusikan ke semua daerah dan secara bertahap dari puluhan kini menjadi 376 laboratorium yang bisa melakukan pemeriksaan spesimen Covid-19. Meski jumlah laboratorium sudah cukup memadai, masih terdapat keterbatasan dalam jumlah petugas laboratorium.

"Kita juga melihat betapa sulitnya, tidak mudahnya, petugas lab yang harus setiap saat melayani pemeriksaan spesimen dan mereka ini adalah salah satu di antara garda terdepan yang berjuang melakukan pemeriksaan spesimen secepat mungkin," kata Doni.

photo
Angka Kesembuhan Covid-19: Jakarta Juaranya - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement