Ahad 25 Oct 2020 18:50 WIB

Tren Demokrasi Indonesia Lebih Baik Dibanding Negara Lain

'Apa yang disebut dengan resesi demokrasi itu memang benar terjadi,' kata Eva.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ratna Puspita
Politikus PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari
Foto: dpr
Politikus PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari mengomentari terkait hasil survei Indikator Politik Indonesia yang menyebut bahwa tren demokrasi di Indonesia mengalami penurunan. Menurutnya, demokrasi di Indonesia masih jauh lebih baik daripada negara-negara di ASEAN lainnya.

"Apa yang disebut dengan resesi demokrasi itu memang benar terjadi. Tapi ternyata Indonesia is not as bad as others gitu, ya," kata Eva dalam diskusi daring, Ahad (25/10)

Baca Juga

Ia pun membandingkan Indonesia dengan Kamboja dan Myanmar. Menurutnya, negara tersebut punya persoalan mengenai isu demokrasi yang lebih kompleks ketimbang Indonesia. 

Selain itu, ia juga menanggapi hasil survei terkait adanya anggapan bahwa warga semakin sulit melakukan demonstrasi. Menurutnya, Indonesia cenderung lebih terbuka ketimbang negara lain seperti Rumania yang melarang unjuk rasa di tengah pandemi Covid-19.

"Boleh demo itu dibolehkan. Di negara lain, di Rumania, enggak boleh karena mereka takut adanya kenaikan yang terpapar, tapi di Indonesia kan enggak. Dibolehkan, tapi agak dikontrol, tapi dibolehkan lho tidak dilarang sama sekali seperti di Thailand kan ada larangan apalagi di Myanmar udah enggak bisa lah kamu demo," ujarnya. 

Politikus Partai Demokrat Hinca Pandjaitan juga menyayangkan  penggunaan UU ITE yang berlebihan di rezim Jokowi. Padahal, menurutnya, UU ITE dibuat ketika itu untuk menyikapi adanya transaksi elektronik yang dilakukan terorisme. 

"Belakangan pembahasan UU itu, jadi draf awalnya itu UU transaksi elektronik, belakangan di DPR diubah atau ditambah informasi di belakangnya, informasi transaksi elektronik dan kemudian seolah dibaca menjadi transaksi elektronik tentang informasi. Padahal, informasi itu oksigennya demokrasi," kata dia.

Hinca juga menyoroti soal kebebasan sipil yang kian tergerus saat ini. Hal tersebut, menurutnya, berbeda dengan yang terjadi di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Sekalipun (di masa pemerintahan SBY) begitu banyak demonstrasi, sekalipun begitu banyak tekanan demonstrasi, tapi tidak ada satu pun yang kemudian berujung kriminalisasi untuk menyampaikan pendapat itu," ucap mantan Sekjen Partai Demokrat tersebut.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengaku sedih melihat data turunnya tren demokrasi di Indonesia. Kendati demikian, ia bersyukur masih ada 62,4 persen responden yang masih yakin dengan demokrasi.

"Tapi ketika di zooming lagi apakah lebih demokratis kurang demokratis, apakah berani menyampaikan pendapat, catatannya panjang dan membuat kita harus sedih ya," ucapnya.

"Karena modal dasar kita untuk membangun adalah publik engagement, ketika publik engagement quote and unquote bermasalah, maka mahal sekali upaya untuk melibatkan publik dalam keseluruhan proses pengambilan politik kita," imbuhnya. 

Sebelumnya Indikator Politik Indonesia merilis hasil survei terbaru bertajuk 'Politik, Demokrasi, dan Pilkada di Era Pandemi'. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan bahwa tren dukungan terhadap demokrasi di Indonesia pada September 2020 cenderung mengalami penurunan jika dibanding Februari 2020 lalu. 

"Kalau kita cek data tren kita memang ada penurunan dibanding bulan Februari," kata Burhanuddin dalam diskusi daring, Ahad (25/10).

Burhanuddin mengatakan pada survei yang dilakukan pada Februari 2020 lalu, sebanyak 72,9 persen responden menganggap demokrasi sebagai sistem terbaik. Sedangkan pada survei terbaru terjadi penurunan menjadi 62,4 persen.

"Meskipun demokrasi tidak perfect tetapi mereka menganggap demokrasi adalah sistem pemerintahan yang terbaik," ujarnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement