REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus dugaan suap, gratifikasi penghapusan red notice dan pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Sugiarto Tjandra akan disidangkan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta Pusat, pada 2 November mendatang. Kepala Humas PN Tipikor Bambang Nurcahyono menyampaikan, pengadilan sudah menetapkan dua komposisi majelis hakim terpisah terhadap lima tersangka terkait dua kasus tersebut.
Bambang menerangkan, selain Djoko, dalam dua kasus dugaan korupsi tersebut, jaksa akan mendakwa politikus Nasdem, Andi Irfan Jaya, pengusaha Tommy Sumardi, Brigjen Pol Prasetijo Utomo, dan Irjen Pol Napoleon Bonaparte. “Khusus untuk terdakwa Andi Irfan Jaya, akan ada majelis hakim yang terpisah,” terang Bambang, lewat pesan singkatnya kepada Republika, Ahad (25/10).
Kata dia, perkara Andi Irfan pengadilan menetapkan Hakim IG Eko Purwanto sebagai ketua majelis pengadil. “Dengan komposisi dua hakim anggota, yaitu Hakim Sunarso sebagai hakim anggota satu, dan Hakim Mochammad Agus Salim, hakim anggota dua dari adhoc,” terang Bambang. Majelis untuk persidangan Andi Irfan tersebut, akan menghadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rachdityo Pandu.
Terkait Andi Irfan, terdakwa tersebut merupakan perantara suap Djoko Tjandra kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari. Djoko, saat berstatus buronan Kejaksaan Agung (Kejakgung) sejak 2009, pada medio November-Desember 2019 memberikan uang 500 ribu dolar AS (Rp 7,5 miliar) kepada Pinangki lewat Andi Irfan. Uang tersebut, setengah dari janji 1 juta dolar, sebagai panjar agar Pinangki, bersama Andi Irfan membuat skema pembebesan Djoko Tjandra lewat penerbitan fatwa bebas MA.
Dalam pembuatan skema pembebasan Djoko Tjandra lewat fatwa MA tersebut, Djoko Tjandra menyediakan dana 10 juta dolar kepada Pinangki, dan Andi Irfan untuk diberikan ke pejabat tertinggi di Kejakgung, dan MA. Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejagung, pada 23 September lalu, sudah menyeret Pinangki ke persidangan terkait penerimaan suap, dan gratifikasi, serta permufakatan jahat untuk melakukan korupsi.
Pun Andi Irfan, yang penyidikannya juga dilakukan tim JAM Pidsus, bakal dikenakan sangkaan serupa terkait pemberian suap, dan permufakatan jahat. Adapun Djoko Tjandra, dalam perkara Andi Irfan, dan Pinangki terkait fatwa MA, sebetulnya setali tiga uang. Tetapi, terpidana korupsi Bank Bali 1999 tersebut, juga terlibat dalam dugaan pemberian suap penghapusan status buronan di interpol, dan imigrasi yang melibatkan Tommy, dan Napoleon, serta Prasetijo.
Djoko Tjandra, menyediakan uang Rp 10 miliar kepada Tommy agar mengurus penghapusan namanya dari daftar buronan interpol, dan imigrasi supaya dapat masuk ke Indonesia, pada Juni 2020. Dari uang tersebut, Tommy memberikan bertahap kepada Irjen Napoleon selaku Kadiv Hubinter Polri uang senilai Rp 7 miliar dalam pecahan dolar AS, dan Singapura. Sedangkan kepada Brigjen Prasetijo, selaku Kakorwas PPNS Bareskrim Polri, Tommy memberikan 20 ribu dolar (Rp 296 juta), dan dugaan pemberian saham pada unit-unit usaha Djoko Tjandra di Indonesia.
Penyidikan suap, gratifikasi terkait penghapusan red notice tersebut, dilakukan tim dari Dirtipikor Bareskrim. Akan tetapi, dalam pemberkasan perkara, Kejakgung melakukan penggabungan berkas suap, khusus terdakwa Djoko terkait kasus fatwa MA, dan red notice tersebut dalam satu dakwaan. Sebab itu, Humas PN Tipikor, Bambang melanjutkan terhadap Djoko, Tommy, Napoleon, dan Prasetijo, akan ada satu majelis hakim tambahan. “Ada empat terdakwa dalam satu majelis ini,” terang Bambang.
Kata Bambang, untuk majelis tersebut, pengadilan menunjuk Hakim Muhammad Damis selaku ketua pengadil. Dan dua anggota majelis, yakni Hakim Saefuddin Zuhri, dan Hakim Joko Subagyo. Adapun penuntut dalam majelis tersebut, kejaksaan mengutus JPU Wartono selaku kordinator penuntutan. “Sidang pertama pembacaan akan digelar bersama, pada 2 November 2020,” kata Bambang.