Sabtu 24 Oct 2020 05:37 WIB

Menikmati Telaga Tersembunyi di Puncak Bogor

Telaga Saat merupakan titik 0 dari Kali Ciliwung.

Rep: Shabrina Zakaria/ Red: Bilal Ramadhan
Titik 0 Sungai Ciliwung di Telaga Saat, Desa Tugu Utara, Cisarua, Kabupaten Bogor.
Foto: Republika/Shabrina Zakaria
Titik 0 Sungai Ciliwung di Telaga Saat, Desa Tugu Utara, Cisarua, Kabupaten Bogor.

REPUBLIKA.CO.ID, Suasana yang sejuk dan pemandangan yang indah menjadi daya tarik yang dimiliki kawasan Puncak, Kabupaten Bogor. Banyak objek wisata di Puncak yang menawarkan pemandangan alam yang ‘menenangkan’.

Telaga Saat salah satunya. Telaga ini baru ramai diperbincangkan warganet baru-baru ini dan kerap menjadi viral di media sosial. Berjarak sekitar 1 km dari Jalan Raya Puncak, Cisarua, pengunjung harus melewati hamparan perkebunan teh dan jalan bebatuan yang masih alami. Namun, ketika tiba di sana, pengunjung akan disuguhi dengan pemandangan yang indah dari Telaga Saat.

Telaga seluas 5 hektare ini merupakan hulu dari Sungai Ciliwung. Selain pemandangan dari telaga, terdapat sejumlah gazebo yang bisa dimanfaatkan pengunjung untuk bersantai serta berswafoto. Ada juga jogging track dan jembatan yang tampak sedang diwarnai sejumlah mahasiswa dari Universitas Trisakti.

Di sisi tengah, terdapat tugu bertuliskan “Km 0 Ciliwung” dengan warna-warni. Berdasarkan pantauan Republika pada Ahad (18/10), pengunjung tidak hanya bersantai di sisi telaga, ada juga yang memanfaatkan fasilitas keliling telaga dengan menggunakan rakit bambu.

Tak hanya bisa menikmati pemandangan telaga yang airnya mengalir tenang, pengunjung juga dapat menikmati pemandangan indah dari hamparan kebun teh yang diapit Gunung Kencana dan Gunung Gede Pangrango dengan kabut di puncaknya.

Rona (22 tahun), dan sahabatnya, Ulfa (23), warga asal Gunung Putri, Kabupaten Bogor, mengaku senang mengunjungi destinasi wisata ini. Sebab, sebelumnya mereka hanya melihat foto-foto Telaga Saat melalui media sosial saja.

“Di Instagram sering muncul. Makanya dicoba ke sini, ternyata bagus banget tempatnya,” ujar Rona.

Rona dan Ulfa berangkat menuju Telaga Saat menggunakan sepeda motor. Menurut Rona, jalan menuju Telaga Saat cukup terjal dan licin untuk dilalui sepeda motor. Apalagi, batu-batu di sekitar jalan yang harus dilalui cukup besar dan bisa membuat pengendara terpeleset.

Ulfa juga merasa kecewa saat melihat ada beberapa pengembangan yang dilakukan pihak Telaga Saat seperti area pejalan kaki yang dicat berwarna-warni, serta hiasan payung warna-warni yang terdapat di salah satu area telaga. Menurut dia, hal tersebut membuat kealamian Telaga Saat menjadi berkurang.

“Kalau niat dikonsepkan, sebaiknya benar-benar direncanakan dan disesuaikan dengan tempat wisata alam itu sendiri,” ujar wanita berkerudung ini.

Senada dengan Ulfa dan Rona, pengunjung lain, Muslih (40), juga mengeluhkan terkait jalan menuju Telaga Saat yang berbatu terjal. “Kalau hujan licin, repot. Saya berharap pemerintah daerah terkait bisa memperbaiki jalan ini,” kata Muslih.

Bersama istrinya, Muslih berangkat menggunakan motor dari rumahnya di daerah Cianjur. Meski rumahnya tidak terlalu jauh dari lokasi, Muslih baru mengetahui tempat ini. Sebelumnya, dia mengetahui dari rekomendasi teman-temannya serta melihat sejumlah foto dari media sosial.

Selain itu, Muslih juga mengeluhkan harga tiket masuk yang menurutnya terlalu mahal. Untuk memasuki Telaga Saat, pengunjung harus membayar tiket masuk di loket yang berjarak 1 km sebelum telaga sebesar Rp 25 ribu per orang. Dengan jalan yang tergolong membahayakan, harga tersebut dinilainya terlalu mahal.

Telaga Saat baru menjadi tempat wisata sejak 2019. Sebelumnya, telaga ini merupakan danau alami. Pada 2018, sempat dilakukan revitalisasi berupa pengerukan di telaga yang dalamnya lebih dari 30 meter ini. Setelah itu, dilakukan pemasangan turap dan dilanjutkan dengan pembuatan gazebo.

Salah seorang warga Desa Tugu Utara yang juga budayawan Sunda, Yudi Wiguna, mengatakan, tiap akhir pekan, Telaga Saat bisa dikunjungi hingga 600 orang. Yudi mengaku kewalahan untuk membuat para pengunjung tetap menjaga jarak, apalagi menjaga kebersihan. Sebab, saat ini Telaga Saat hanya dikelola secara swadaya oleh masyarakat Desa Tugu Utara, termasuk dirinya.

“Saya berharap pemerintah bisa ikut membantu dalam mengembangkan wisata ini. Termasuk soal penghijauan dan perawatannya,” ujar Yudi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement