Kamis 22 Oct 2020 21:54 WIB

Kejaksaan Siapkan 19 JPU untuk Penjarakan Jenderal Napoleon

Kejaksaan mengerahkan 19 JPU untuk menangani kasus Jenderal Napoleon.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Bayu Hermawan
Mantan Kadiv Hubungan Internasional Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte (tengah)
Foto: ANTARA/Rommy S
Mantan Kadiv Hubungan Internasional Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte (tengah)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim jaksa gabungan akan mengerahkan 19 penuntut umum untuk memidanakan para tersangka suap penghapusan red notice Djoko Sugiarto Tjandra. Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kajari Jaksel) Anang Supriatna mengatakan, pelimpahan empat berkas perkara tersangka, Irjen Napoleon Bonaparte, dan Brigjen Prasetijo Utomo, serta Tommy Sumardi ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) akan dilakukan pada pekan mendatang.

"Tim penuntut kita siapkan 19 orang. Ada dari kita (Kejari), dan tim dari JAM Pidsus Kejaksaan Agung," kata Anang saat ditemui di Kejari Jaksel, Kamis (22/10). 

Baca Juga

Anang mengatakan, tim penuntutan gabungan Kejari dan JAM Pidsus Kejakgung, sedang dalam penyempuranaan berkas perkara, dan dakwaan. Ia menerangkan, sejak pelimpahan para tersangka, dari Bareskrim Polri, pada Jumat (16/10), tim penuntut punya waktu 14 hari sebelum menyorongkan para tersangka ke PN Tipikor.

"Dan dalam waktu secepatnya, segera akan kita limpahkan ke persidangan untuk pendakwaan di (PN) Tipikor. Masih ada waktu untuk penyempurnaan, pekan depan, kita usahakan untuk limpah ke pengadilan," jelas Anang.

Dalam kasus dugaan suap, dan gratifikasi penghapusan red notice Djoko Tjandra menyidikannya dilakukan oleh Bareskrim Polri. Empat orang ditetapkan tersangka dalam penyidikan tersebut. Yakni, Djoko Tjandra, Tommy Sumardi, Napoleon Bonaparte, dan Prasetijo Utomo. Para tersangka tersebut, sejak Jumat (16/10), sudah dalam tahanan setelah kepolisian melimpahkan berkas perkaranya ke JAM Pidsus lewat Kejari Jaksel. 

Dari hasil penyidikan selama ini, dikatakan Djoko Tjandra menyiapkan uang Rp 10 miliar untuk penghapusan statusnya dalam daftar buronan (DPO) interpol, dan di sistem imigrasi Indonesia. Uang tersebut, diberikan kepada rekannya Tommy Sumardi dengan jaminan misi penghapusan red notice di interpol dan imigrasi. Dari uang tersebut, Rp 7 miliar, diberikan kepada Irjen Napoleon yang pernah menjabat sebagai Kadiv Hubinter Mabes Polri yang membawahi NCB Interpol Polri.

Pemberian uang tersebut, setelah Brigjen Prasetijo mengenalkan Tommy kepada Napoleon. Sementara Prasetijo yang sebelumnya menjabat sebagai Kakorwas PPNS Bareskrim Polri, mendapatkan jatah 20 ribu dolar (Rp 296 juta) dari Tommy Sumardi. Misi penghapusan red notice tersebut, berhasil setelah Djoko Tjandra dalam status buronan berhasil masuk ke Pontianak, dan Jakarta dari Malaysia pada Juni 2020. Djoko Tjandra, saat itu merupakan buronan  Kejakgung selama 11 tahun, terkait korupsi Bank Bali 1999 yang merugikan keuangan negara Rp 904 miliar.

Terkait kasus ini, irisan pengungkapannya juga dilakukan di JAM Pidsus. Khusus berkas Djoko Tjandra, terkait suap, dan gratifikasi penghapusan red notice, tim penuntut menggabungkan pemberkasan perkaranya, dalam kasus penyuapan, dan pemberian janji kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari. Djoko Tjandra, lewat perantara politikus Nasdem, Andi Irfan Jaya memberikan uang 500 ribu dolar (Rp 7,5 miliar) kepada Pinangki untuk mengurus penerbitan fatwa bebas dari Mahkamah Agung (MA). 

Dalam kasus fatwa bebas dari MA tersebut, Djoko Tjandra menyiapkan uang 10 juta dolar (Rp 150 miliar) untuk diberikan kepada pejabat tinggi di Kejakgung, dan MA. Akan tetapi, upaya menjalankan misi penerbitan fatwa bebas tersebut, dikatakan penyidik batal. Namun, pemberian uang panjar dari Djoko Tjandra kepada Pinangki, lewat peran Andi Irfan sudah terealisasi. Djoko Tjandra, pun ditetapkan tersangka, bersama Andi Irfan. Sedangkan Pinangki, sudah duluan masuk ke persidangan di PN Tipikor.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement