Kamis 22 Oct 2020 17:36 WIB

'Negara Jangan Terlampau Panik dengan Kritik'

Negara harus bisa memilah mana yang kritik dan yang buat gaduh.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Indira Rezkisari
Tersangka Petinggi Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jumhur Hidayat (kanan) tiba untuk menjalani pemeriksaan di gedung Bareskrim Polri, Jakarta. Menurut pengamat, wajar jika dalam demokrasi terdapat perbedaan pendapat. Tidak semua kritik yang disampaikan bertujuan menjatuhkan pemerintah.
Foto: Antara/Reno Esnir
Tersangka Petinggi Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jumhur Hidayat (kanan) tiba untuk menjalani pemeriksaan di gedung Bareskrim Polri, Jakarta. Menurut pengamat, wajar jika dalam demokrasi terdapat perbedaan pendapat. Tidak semua kritik yang disampaikan bertujuan menjatuhkan pemerintah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai wajar jika perbedaan pendapat terjadi dalam sebuah demokrasi. Menurutnya tidak tepat apabila negara membatasi orang dalam konteks demokrasi saat ini yang semakin maju.

 

Baca Juga

"Siapapun yang jadi Presiden di Republik ini, apalagi Jokowi yang dianggap presiden pilihan rakyat dua periode, dan orang-orang di sekelilingnya jangan terlampau panik dengan kritik yang setiap saat datang," kata Adi dalam diskusi daring bertajuk 'Dari Reformasi di Korupsi ke Mosi Tidak Pecaya, Di Mana Partai Politik Kita?', Kamis (22/10).

Selain itu, ia juga berpandangan bahwa negara tidak semestinya dengan mudah melabeli hoaks, fitnah, dan provokasi kepada mereka yang punya pandangan berbeda dengan pemerintah. Negara juga diharapkan bisa memilah-milah mana yang mengkritik dan mana yang membuat gaduh.

"Jadi bagi saya, jangan pernah takut dengan kegaduhan, karena pilihan kita adalah pilihan sistem politik yang demokratis. Selama dalam konteks itulah bingkai demokratisasi itu harus dijaga," ujarnya.

Dia juga mengutip indeks demokrasi yang dilakukan Freedom House yang mengatakan bahwa indeks demokrasi Indonesia mengalami kemunduran sejak enam hingga tujuh tahun belakangan ini. Hal tersebut dibuktikan dari dua indikator, pertama kebebasan sipil, yang kedua adalah political right tentang hak-hak politik.

"Kalau hak politik, hak politik kita saya kira maju. pilkada, pileg, pilpres ini kan secara reguler terjadi tiap lima tahun sekali. Tapi ketika bicara soal civil liberty  dalam konteks ini bermasalah, sehingga penangkapan Jumhur, sejumlah kelompok aktivis seperti Syahganda dan yang sebelumnya, bagi pegiat demokrasi itu menjadi catatan demokrasi," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement