REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menuding adanya pihak-pihak tertentu yang melibatkan anak-anak tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dalam aksi menolak Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law di Surabaya beberapa waktu lalu. Risma pun memprotes keras pelibatan anak-anak dalam aksi tersebut. Menurutnya melibatkan anak-anak dalam aksi tidak fair, karena anak-anak usia SMP belum mengerti apa-apa.
"Tidak fair dan tidak adil kalau anak-anak di usia segini dilibatkan. Mereka belum mengerti apapun. Saya protes keras itu. Ada UU Perlindungan Anak yang saya gunakan bahwa mereka jangan digunakan lah," kata Risma seusai memberi pengarahan kepada siswa-siswa SMP di Surabaya, Senin (19/10).
Elemen buruh dan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Tolak Omnibus Law (Getol) Jatim akan kembali menggelar aksi penolakan terhadap undang-undang yang dirasa bermasalah tersebut. Aksi rencananya dipusatkan di Surabaya mulai 20 hingga 23 Oktober 2020.
Risma pun mengajak masyarakat untuk menjaga anak-anak Surabaya agar tidak ikut-ikutan dalam aksi tersebut. Menurutnya, ketika ada pihak-pohak yang melibatkan anak-anak dalam aksi tersebut, merupakan bagian dari eksploitasi.
"Saya ajak seluruh warga Surabaya untuk mengamankan kota ini dan menjaga anak-anak supaya tidak ada eksploitasi. Jadi eksploitasi anak-anak yang saya sampaikan itu bukan berarti anak-anak itu diajak bekerja. Tapi anak-anak dikondisikan seperti itu juga eksploitasi anak," ujar Risma.
Risma juga mengajak semua pihak untuk bersama-sama menjaga Kota Surabaya. Sehingga, aksi unjuk rasa yang digelar tidak malah menimbulkan pengrusakan terhadap fasilitas umum yang ada di Kota Pahlawan. Risma tidak melarang elemen buruh maupun mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa di Surabaya. Dia hanya mengingatkan agar aksi yang digelar tidak disertai pengrusakan.
"Ayok kita semua jaga kondisi kota agar tidak ada lagi korban terutama anak-anak. Silahkan kalau mau demo tapi jangan rusak fasilitas karena itu dibayar dengan uang rakyat," kata Risma.