REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika
Oktober 1945. Merupakan waktu pengumuman bagi warga negara Indonesia yang ingin dididik menjadi perwira tentara. Pengumuman masih terbatas di Yogyakarta, Jawa Tengah Jawa Barat, Jakarta, dan Jawa Timur (Jatim). Itulah awal pengumuman Militaire Academie (MA) atau Akademi Militer di Yogyakarta dan MA Tangerang, serta Sekolah Kadet Malang.
Sekolah Kadet Malang, nama lengkapnya Sekolah Tentara Divisi VII/Surapati Malang. Kadet angkatan keduanya akhirnya diintegrasikan ke dalam MA Yogyakarta. Integrasi dua institusi pendidikan perwira militer ini embrionya saat kadet angkatan pertama MA Yogyakarta berkunjung ke sekolah ini pada Maret 1946.
Berkunjung untuk pertandingan olahraga dan persahabatan. Saat dilakukan demonstrasi, di situlah terlihat perbedaan gaya dua lembaga pembentukan perwira tentara itu. MA Yogyakarta lebih cenderung ke gaya KNIL (Koninklijke Nederlandsch Indische Lager) atau Angkatan Bersenjata Kerajaan Belanda. Sedangkan Sekolah Kadet Malang lebih cenderung ke gaya PETA (pembela Tanah Air) atau tentara bentukan Jepang.
Dari situlah, kedua pimpinan lembaga membicarakan kemungkinan mengintegrasikannya. Hasil pembicaraan akhirnya sampai juga kepada Presiden Sukarno. “Di satu negara, idealnya hanya ada satu akademi militer secara nasional,” kata Presiden Soekarno. Konsep integrasi disetujui 7 Juni 1948 dimulai dengan dipindahkannya para kadet Malang ke Surakarta sehingga lebih dekat ke Yogyakarta.
Namun, baru sekitar tiga bulan di Surakarta, meletuslah peristiwa PKI Madiun pada 1948. Kadet sekolah ini pun diterjunkan mengikuti operasi tersebut. Usai operasi, para kadet asal Sekolah Malang itu dipanggil mengikuti ujian di MA Yogyakarta. Namun, pada 11 Desember 1948, meletus lagi agresi militer kedua Belanda di Yogyakarta.
Para kadet ini pun kembali diberdayakan TKR untuk melawan Belanda. Pada 29 Juni 1949, tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta. Akhirnya, pada September 1949, seluruh kadet mengikuti pendidikan akhir akademi. Yang mengejutkan, lulusan terbaik MA Yogyakarta angkatan kedua justru berasal dari kadet asal Malang, yakni Suprapto. Terakhir Mayor Jenderal, Asisten Perencanaan dan Penelitian KSAD 1973-1976.
Sekolah Kader Surabaya
Selain itu, dibentuk pula Sekolah Kader Divisi VII Surabaya di Mojoagung pada 1 November 1945. Embrionya berasal dari pasukan Sawunggaling. Para kadet hasil rekrutmen seluruhnya berasal dari pasukan Sawunggaling, sebanyak 159 orang, ditambah 17 orang dari Mojokerto.
Markas lembaga pendidikan perwira Mojoagung ini di Kompleks Pabrik Gula Mojoagung, tepatnya di Jalan Raya Surabaya-Jombang. Tujuan pendidikan ialah mendidik calon komandan peleton untuk satuansatuan Divisi VII Surabaya. Lama pendidikan lima bulan.
Materi pelajaran semuanya tentang ilmu kemiliteran. Sebanyak 122 kadet dilantik menjadi pembantu letnan atau letnan muda dilantik pada 1 April 1946 oleh Komandan Divisi VII Jenderal Mayor Yonosewoyo. Beberapa lulusannya kemudian melanjutkan pendidikan di Akademi Militer Breda, Belanda, dan Akademi Genie (Zeni) Angkatan Darat di Bandung.
Persenjataan lengkap
Lahirnya Sekolah Tentara di Malang tersebut terkait dengan situasi Jatimpada umumnya, dan Malang pada khususnya, usai proklamasi kemerdekaan. Karena itu, kadetnya pun bukan hanya belajar dan berlatih semata, melainkan juga rela meninggalkan bangku sekolah untuk membela bangsa dan negara.
Divisi Malang merupakan kesatuan yang paling lengkap persenjataannya, hasil dari pelucutan senjata tentara Jepang. Kelengkapan itulah yang mendorong pembentukan TKR di wilayah Malang dan Besuki. Sebagai Panglima Divisi adalah Jenderal Mayor Imam Sujai. Dia pula yang kemudian memikirkan untuk membentuk sekolah tentara.
Apalagi, jumlah perwira yang ada tidak sepadan dengan luas wilayah divisi tersebut. Karena itu pula, pimpinan divisi segera membentuk lembaga pendidikan perwira secara darurat. Sekolah dibentuk atas gagasan Mayor Mutakad Hurip (kepala staf operasi divisi) setelah pulang dari pertempuran di Surabaya yang pertama pada Oktober 1945.
Gagasan itu mendapatkan respons dari Panglima Divisi Jenderal Mayor Imam Sujai. Semula nama lembaganya, Sekolah Tentara Divisi VIII sesuai dengan nama tempat, yakni Divisi VIII, meliputi Malang dan Besuki. Namun, dengan berubahnya nama Divisi VIII menjadi Divisi VII Surapati pada awal 1946, nama lembaga menjadi Sekolah Tentara Divisi VII Surapati. Masyarakat Malang menyebutnya sebagai Sekolah Kadet Malang.
Tempat pendidikan, awalnya menggunakan bekas gedung Meisies HBS (Hogere Burgerschool) atau sekolah menengah putri. Pada masa Jepang digunakan untuk tangsi militer. Sekarang menjadi kompleks Sekolah Katolik St Yusuf, Jalan Thamrin atau Jalan Dr Sutomo Nomor 35, Malang.
Sedangkan tempat pendaftarannya menggunakan bangunan yang sekarang menjadi SD Negeri Kasin, Jalan Yulius Usman Nomor 58 Klojen, Malang. Beberapa bulan kemudian pindah ke gedung Eropeesche Legere School (sekolah rendah Eropa) Katolik dan Bruderan. Sekarang menjadi SMPK Frateran, Jalan Jaksa Agung Suprapto Nomor 31 Malang.
Tempat pendidikan angkatan kedua menempati bekas Asrama Marine Belanda di Jalan Andalas 2 Sawahan, Malang. Sekarang menjadi Pangkalan Utama TNI AL, Detasemen TNI AL Malang, Jalan Yos Sudarso Nomor 14 Malang. Setelah Belanda menduduki Kota Malang pada Juli 1947, tempat pendidikan dipindahkan ke Sumberagung, Kepanjen, Kabupaten Malang.
Di tempat itulah pendidikan lanjutan angkatan kedua dibuka kembali pada 1 Oktober 1947. Pengumuman pembukaan sekolah kadet Malang ini disiarkan secara terbuka melalui radio dengan persyaratan minimal, tamat SMP sederajat, berumur 17-24 tahun, tinggi minimal 155 sentimeter (cm), berbadan sehat, dan belum menikah.
Pengumuman terbatas
Pembukaan pendidikan dimulai pada November 1945. Sama dengan pembukaan MA Yogyakarta. Jumlah kadet angkatan pertama 125 orang dan mayoritas berasal dari Jatim. Ini terjadi karena pengumumannya masih terbatas di provinsi tersebut, belum tersebar ke wilayah lain.
Sedangkan penerimaan kadet angkatan kedua dilaksanakan pada 1946, pengumuman pembukaan selain melalui radio, juga melalui surat kabar Merdeka, Jakarta, terbitan 27 Agustus 1946. Namun, cakupan pengumumannya menjadi lebih luas secara nasional. Untuk menarik minat pemuda dari luar Jawa, diberikan dispensasi khusus tanpa testing dan belum tamat SMP pun bisa diterima.
Pada kuartal pertama, mereka memperoleh latihan basis kemiliteran. Pada kuartal kedua memperoleh pelajaran yang bersifat militer teoretis. Pada setiap akhir kuartal sebelum kenaikan pangkat, mereka memperoleh penugasan di kesatuan-kesatuan tentara dan melatih rakyat atau bertugas di medan pertempuran sehingga lebih dari separuh waktu pendidikan digunakan untuk tugas tersebut.
Pendidikan angkatan pertama, antara lain, sudah mendapatkan mata pelajaran bahasa Inggris dan Jerman, pengenalan ilmu tata negara, dan ilmu hukum. Pada angkatan kedua, mereka menerima materi pelajaran militer dan nonmiliter ditambah beberapa materi eksakta. Juga taktik dan strategi, ilmu medan, pioner, sejarah militer, peraturan urusan dalam (PUD), kepemimpinan, pengetahuan berbagai senjata, pelajaran bela diri, dan sebagainya.
“Tujuan pendidikan awalnya membentuk perwira yang mampu memimpin satu peleton atau seksi pasukan dalam pertempuran, atau menciptakan perwira lapangan yang tangguh di medan pertempuran, khususnya di wilayah divisi tersebut,” kata Letjen (Purn) Murgito, alumni angkatan pertama Sekolah Kadet Malang, seperti tertuang dalam buku Akademi Militer, terbitan 2006.
Namun, untuk angkatan kedua, kata Murgito, skala tujuan sekolah kadet ini meluas hingga wilayah nasional. Lama pendidikan untuk angkatan pertama sekitar satu tahun yang terbagi dalam empat kuartal. Setiap kuartal dilaksanakan kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi. Berturut-turut mulai dari prajurit kadet, kopral kadet, sersan kadet, sersan mayor kadet.
Pendidikan tiga tahun
Pada angkatan kedua, lama pendidikan menjadi tiga tahun dan sekolah ini disetarakan dengan akademi militer di Yogyakarta. Pada awalnya, yang menjadi staf pengajar dan instruktur adalah perwira PETA di Malang, sedangkan untuk materi teoretis diberikan oleh tenaga pengajar bekas KNIL.
Kadet angkatan kedua dibentuk dalam satu kompi latihan. Pengasuhnya selain dari PETA dan KNIL ditambah alumni angkatan pertama mulai dari komandan regu, komandan peleton, dan komandan kompi. Sekaligus untuk memberikan pengalaman memimpin bagi para alumni angkatan pertama.
Menjelang akhir pendidikan angkatan pertama, ada 21 kadet yang keluar dan melanjutkan pendidikan di SMPT Malang. Mereka kecewa karena selama pendidikan kuartal pertama hanya diberikan pangkat kopral kadet sehingga yang tersisa tinggal 80 orang. Dari jumlah itu, yang berhasil menyelesaikan pendidikan 69 orang. Mereka dilantik pada 30 November 1946 oleh Panglima Divisi VII Jenderal Mayor Imam Sujai dan diberikan pangkat vandrig (calon perwira).
Sedangkan jenjang kepangkatan angkatan kedua yang berlangsung selama tiga tahun itu terkait juga dengan masa pertempuran pada masa itu. Saat berada di front Malang, mereka mendapatkan kenaikan pangkat dari prajurit kadet menjadi kopral kadet pada Juni 1947. Saat pindah ke Sumberagung, pangkatnya pun dinaikkan lagi menjadi sersan kadet pada Desember 1947 oleh Jenderal Mayor Bambang Supeno selaku panglima divisi.
Selanjutnya, para kadet diintegrasikan ke MA Yogyakarta dan mengikuti kurikulum akademi tersebut. Pada akhir pengabdian, ada beberapa alumni yang mencapai pangkat perwira tinggi, di antaranya Letjen Norman Sasosno (bekas Pangdam Jaya 1977-1982), Letjen Harun Suwardi (bekas Aslog KSAD 1977-1983 dan Irjen Kementerian Perindustrian 1983), dan Letjen Murgito (eks komandan jenderal Akademi TNI 1983-1985).