Rabu 07 Oct 2020 05:00 WIB

Perwira Akmil di Ujung Bedil Revolusi Kemerdekaan

Pada 1950, pemerintah menutup MA Yogyakarta, dibuka kembali pada 1957 di Magelang.

Mantan Wakil KSAD dan Gubernur Lemhannas Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo.
Foto: Tangkapan layar
Mantan Wakil KSAD dan Gubernur Lemhannas Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika

Rambutnya sudah memutih semua. Nyaris tak tersisa lagi rambut berwarna hitam di kepalanya. Kulitnya pun sudah mengendur. Tapi, jangan tanya soal suaranya. Suaranya masih menggelegar keras, nyaring terdengar. Pada 2020 ini, usianya sudah 93 tahun. Tapi semangatnya masih meletup.

 

Pensiunan Letnan Jenderal itu masih bisa menceritakan dengan detail pengalamannya saat menjadi kadet. Juga pengalaman tempurnya di beberapa front. Ia tak hanya dikenal sebagai perwira tempur, melainkan juga perwira pemikir yang mengenyam pendidikan militer di Amerika Serikat dan Jerman.

 

Ia salah satu lulusan terbaik Akademi Militer (Akmil) Yogyakarta (dulu disebut Militarie Academie/MA) tahun 1948. Dikenal memiliki pengalaman, pengetahuan, dan perhatian yang luas di berbagai bidang. Khususnya militer, politik, dan diplomasi. Semua ini berkat kiprah dan penugasan yang pernah diembannya sejak remaja dalam perang kemerdekaan. Mengikuti berbagai operasi keamanan dalam negeri, seperti Darul Islam, PRRI/Permesta, dan PKI, hingga penugasan di luar bidang militer.

 

“Profesi tentara masih dibutuhkan walau negara dalam keadaan stabil sekali pun. Karena itu menjadi tantangan bagi akademi militer untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman,” kata Sayidiman Suryohadiprojo di kediamannya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Hal yang sama dikemukakan Letjen (Purn) Seno Hartono. Wawancara dilakukan April 2011.  

Sistem drop out

Saat ditanyakan soal pengalamannya menjadi kadet atau taruna di Yogyakarta, mata Seno Hartono berkaca-kaca. Ia satu-satunya lulusan MA Yogyakarta 1948 yang menjadi pasukan komando. Seno meminta supaya masalah itu lebih pas ditanyakan kepada rekannya Sayidiman. “Pak Sayidiman masih segar bugar, daya ingat beliau masih kuat. Saya sudah sakit-sakitan dan terbaring di tempat tidur saja,” kata Seno. Seno Hartono wafat pada 5 September 2012 dalam usia 85 tahun.

Sayidiman menceritakan, setelah perjanjian damai usai agresi militer pertama Belanda di Indonesia, kurikulum pendidikan di Akmil Yogyakarta pun diubah menjadi enam semester. Satu semester terdiri dari enam bulan. Yang tidak lulus ujian dikenai sanksi drop out (dikeluarkan dari akademi). Tingkatan kepangkatannya Kopral Kadet, Sersan Kadet, Sersan Mayor Kadet, dan terakhir selama dua semester berpangkat Vandrig Kadet (Pembantu Letnan atau Calon Perwira).

 

Belakangan istilah kadet yang berasal dari Belanda diganti dengan nama taruna. Materi pelajaran yang diberikan untuk para kadet bersifat praktis dan lebih dominan pelajaran-pelajaran militer. Sedangkan, pelajaran nonmiliter lebih mengarah pada aplikasi dalam mendukung pelajaran militer.

 

Materi pelajaran militer, di antaranya taktik bertempur dan gerilya, ilmu bumi militer, pioner dan pengamatan medan, ilmu jiwa militer, ilmu medan, peraturan urusan dalam dan peraturan penghormatan, teknik senjata infanteri, pengetahuan artileri, hukum perang konvensional, serta telepon dan alat perhubungan.

 

Sedangkan, pelajaran nonmiliter, seperti ilmu kesehatan dan makanan, pengetahuan berkuda dan bela diri, serta olahraga lainnya. Para kadet juga dilibatkan membantu TKR melaksanakan operasi militer dan misi internasional Popda (Panitia Oeroesan Pemoelang Djepang), serta magang ke sejumlah batalion untuk mengetahui kehidupan prajurit sesungguhnya.

 

Mereka juga dikirim ke Sarangan, Kabupaten Megatan untuk mengikuti pendidikan Sora (Sekolah Olahraga) secara bergilir. Para kadet dilatih olahraga bela diri, atletik, permainan, keterampilan dan bahasa asing (Inggris, Jerman, Prancis, dan Rusia), serta pelajaran radio telegrafis.

 

Front pertempuran

Setelah persetujuan Renville tercapai, bersamaan dengan semester lima, para kadet ditarik kembali dari front pertempuran. Pada Juli 1948 terjadi integrasi kadet dari Sekolah Tentara Divisi VII/Surapati, Malang dengan kadet MA Yogyakarta. Dengan integrasi itu, kadet dari Malang dianggap setingkat dengan MA Yogyakarta. Mereka dimasukkan dalam Kompi Z.

 

Pada pertengahan semester enam, pada Agustus-September 1948, dilaksanakan ujian tertulis, ujian praktik, dan ujian lisan. Usai ujian-ujian tersebut, meletuslah peristiwa PKI (Partai Komunis Indonesia) Madiun. Para kadet pun diperbantukan pada Gubernur Militer Solo dan pasukan Siliwangi untuk membantu dalam operasi penumpasan itu. Dua kadet gugur, yakni Vandrig Kadet Hardosemeru dan Vandrig Kadet Anto Sugiarto. Mereka gugur

di daerah Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri.

Pada akhir Oktober 1948, kadet angkatan pertama ditarik dari tugas operasi untuk persiapan pelantikan menjadi perwira dengan pangkat Letnan Dua. Dari 442 kadet tersebut, yang lulus hanya 196 orang. Mereka dilantik pada Ahad, 26 Oktober 1948 di halaman Istana Negara Yogyakarta oleh Presiden Sukarno.

 

Mereka yang dilantik, di antaranya (dengan pangkat terakhir), Jenderal TNI (Hor) Susilo Sudarman, Letjen TNI Sayidiman Suryohadiprojo, Letjen TNI Seno Hartono, Letjen TNI Wiyogo Atmodarminto, Letjen TNI Himawan Sutanto, dan Letjen TNI J Henuhili.  “Sebagai lulusan terbaik pertama, Kun Suryoatmojo' terbaik kedua, Subroto; dan terbaik ketiga, saya,” kata Sayidiman.

 

Namun, lulusan terbaik pertama dan kedua tidak melanjutkan karier militernya. Kun Suryoatmojho menjadi bankir di Bank Indonesia, sedangkan Subroto belakangan menjadi Menteri Pertambangan dan Energi era Presiden Soeharto. Saat pelantikan belum ada korpsnya, semuanya masih sebagai tentara umum atau infanteri. Belum ada kecabangan-kecabangan lain, karena organisasi tentara pun baru disusun.

 

Lulusan terbaik pertama hingga 10 bisa memilih mau ditempatkan di kesatuan mana pun. Usai pelantikan perwira, terjadi pergantian direktur MA dari Kolonel R Suwardi kepada Kolonel GPH Djatikusumo. Djatikusumo sebelumnya adalah Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Tak lama setelah itu, pecah agresi militer kedua Belanda di Yogyakarta. Kota Yogyakarta diserang tentara Belanda.

 

Kusuma bangsa

Dengan kondisi yang tidak diharapkan tersebut, Kolonel Djatikusumo menarik kembali para perwira yang baru dilantik. Mereka bersama kadet, angkatan kedua, mempersiapkan perang gerilya melawan Belanda yang berbasis di daerah Kalasan, Prambanan, hingga Kaliurang.

 

Dalam operasi yang dipimpin Djati kusumo itu, MA Yogyakarta kehilangan 25 orang.  Gugur sebagai Kusuma Bangsa. Rinciannya, sembilan Letda (angkatan pertama) dan 11 Vandrig Kadet (angkatan kedua). Sebanyak 11 orang gugur di Yogyakarta dan 14 orang di Jawa Timur dan Solo. Mereka yang gugur, di antaranya Letda TP Kandou, Letda Soekotjo, Vandrig Kadet Lily Rochly dan Vandrig Kadet Tardjono.

 

Barulah setelah pasukan Belanda ditarik dari Kota Yogyakarta, para kadet pun masuk kembali ke Kesatrian MA Yogyakarta dan meneruskan studinya. Para kadet angkatan kedua yang sudah kembali ke markas harus mengikuti ujian akhir pada September 1949. Mereka pun dilantik menjadi perwira dengan pangkat Letnan Dua oleh Presiden Sukarno di Istana Presiden pada 5 Okober 1949.

 

Namun tidak semuanya bisa dilantik, sebab ada beberapa kadet yang baru kembali ke markas setelah Oktober. Karena itu, mereka pun baru mengikuti ujian menjadi perwira pada Januari dan dilantik menjadi perwira di Istana pada Februari 1950. Secara keseluruhan, kadet angkatan kedua yang berhasil lulus menjadi perwira berjumlah 149 orang. Mereka di antaranya Moejono, Abdul Kadir Besar, Bagus Sumitro, dan R Soehardjo.

 

Akademi ditutup

Sesungguhnya, pada September 1949, MA Yogyakarta menerima kadet untuk angkatan ketiga. Persyaratannya kali ini lebih ditingkatkan lagi. Calon kadet harus lulusan SMA. Dengan persyaratan tersebut, karena masih jarang pemuda Indonesia yang berhasil lulus SMA, maka yang mendaftar pun hanya 21 orang. Setelah melewati seleksi, yang lulus 12 orang.

 

Dalam masa awal pendidikan, berkurang lagi dua orang, sehingga tinggal 10 orang. Bahkan, pada tiga bulan masa pendidikan, tiga orang mengundurkan diri lagi, sehingga secara keseluruhan jumlah kadet tinggal tujuh orang saja. Dengan jumlah yang sangat sedikit itu, tidak memungkinkan dilakukan pendidikan bagi para kadet di MA Yogyakarta.

 

Maka pada 1950, pemerintah menutup sementara MA Yogyakarta. Jalan keluar bagi tujuh kadet yang tersisa ini, pemerintah mengirimkan mereka melanjutkan pendidikan di Koninklijke Militaire Academie (KMA) Breda, Belanda. Sehingga, 36 pemuda itu diangkat sebagai kadet abituren MA Yogyakarta angkatan ketiga.

Mereka, di antaranya Rudini, Soebijakto, Sudiman Saleh, Theo Sumantri, Susanto Wismoyo, Tuk Setyohadi, Ngandani, dan Iwan Kartadinata. Mereka dilantik menjadi Letnan Dua pada 1955 dan 1956. Dari tiga abituren MA Yogyakarta, angkatan pertama yang menghasilkan 196 lulusan itu terdapat 52 orang, atau 26,5 persen yang menjadi perwira

tinggi.

Sementara angkatan kedua yang meluluskan 149 orang, terdapat 31 orang atau 20,8 persen mencapai perwira tinggi. Sedangkan, angkatan ketiga atau angkatan KMA Breda, Belanda yang berjumlah 36 orang, yang mencapai perwira tinggi 24 orang atau 66,6 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement