Rabu 14 Oct 2020 21:22 WIB

Pengamat Ulas Alasan Publik Ragu Uji UU Ciptaker ke MK

Setidaknya ada dua alasan mengapa sebagian publik ragu menguji UU Ciptaker ke MK.

Rep: Febrianto Adi Saputro, Antara/ Red: Andri Saubani
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman bersiap memimpin sidang uji materiil sebuah undang-undang di Gedung MK, Jakarta. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman bersiap memimpin sidang uji materiil sebuah undang-undang di Gedung MK, Jakarta. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia Said Salahudin menyoroti terkait keraguan publik terhadap rencana pengujian undang-undang atau judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dirinya mencatat, setidaknya ada dua alasan keraguan publik pada lembaga MK dalam menguji UU Cipta Kerja. Pertama, terkait kredibilitas hakim MK.

"Masyarakat menilai MK tidak kredibel karena hakimnya mudah disuap. Argumen ini didasari pada pengalaman dua Hakim Konstitusi yang pernah ditangkap oleh KPK karena tersangkut kasus korupsi," kata Said dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Selasa (13/10).

Baca Juga

Said melanjutkan, masyarakat juga meragukan kredibilitas MK karena secara empiri terdapat sejumlah putusan MK yang dianggap tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Kasus yang dicontohkan diantaranya adalah putusan MK mengenai sengketa hasil Pilpres.

"Ada pula argumen yang mengaitkan dengan proses pengisian jabatan Hakim MK yang dipilih oleh DPR dan Presiden sebagai pembentuk UU Cipta Kerja. Hal tersebut menyebabkan masyarakat ragu MK dapat bersikap objektif dalam memutus JR omnibus law," ucapnya.

Alasan kedua, bahwa MK akan mengabulkan JR UU Cipta Kerja, yaitu terkait persoalan aturan hukum. Masyarakat coba mengaitkannya dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020  Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU 7/2020), yang diundangkan enam hari sebelum UU Ciptaker disahkan oleh DPR.

Said menjelaskan, dalam UU tersebut DPR dan Presiden menghapus ketentuan Pasal 59 ayat (2) yang sebelumnya termuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU 8/2011). Pasal 59 ayat (2) pada pokoknya mengatur mengenai kewajiban bagi DPR dan Presiden untuk segera menindaklanjuti putusan MK yang terkait dengan JR, dalam hal Putusan itu mengubah undang-undang yang diuji.

Penghapusan pasal itu banyak dianggap orang merupakan skenario dari DPR dan Presiden untuk menihilkan Putusan MK, kemudian DPR dan Presiden tidak lagi memiliki kewajiban untuk menindaklanjuti Putusan MK. Sehingga, terbangunlah asumsi di masyarakat bahwa seandainya pun UU Cipta Kerja dibatalkan, baik sebagian atau seluruhnya oleh MK, maka hal itu akan sia-sia sebab UU tersebut tetap bisa diberlakukan oleh DPR dan Presiden. Padahal ini asumsi yang keliru.

"Perlu diketahui, penghapusan Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 melalui UU 7/2020 bukanlah kemauan DPR dan Presiden, melainkan pasal itu dihapus justru karena diperintahkan oleh MK," tuturnya

Ia menjelaskan, ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 sudah dibatalkan oleh MK sejak sembilan tahun yang lalu melalui Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011, tanggal 18 Oktober 2011. Jadi, memang sudah seharusnya Pasal 59 ayat (2) itu dihapus dalam UU 7/2020.

"Penghapusan pasal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi sifat Putusan MK yang memiliki kekuatan hukum terakhir dan mengikat (‘final and binding’), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945," ungkapnya.

"Jadi, sekalipun Pasal 59 ayat (2) telah dihapus oleh UU 7/2020, dalam hal JR UU Cipta Kerja dikabulkan dan UU tersebut, misalnya, dibatalkan oleh MK, maka tidak ada tafsir lain lagi, ‘Good bye omnibus law’," kata Said menambahkan.

MK menegaskan putusan pengujian undang-undang bersifat final dan mengikat sejak diucapkan sehingga harus dilaksanakan. Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono, mengatakan tanpa norma dalam Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah dihapus, sifat putusan MK tidak berubah.

"Walaupun tidak ada norma itu, atau norma itu dihapus, UUD 1945 tegas menyatakan MK itu peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat mengikat. Harus ditaati, dihormati, dan dilaksanakan," tutur Fajar.

Pasal yang dihilangkan dalam revisi UU MK terakhir itu berbunyi "Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan".

Fajar menuturkan, dihapusnya norma itu dari UU MK yang baru merupakan bagian dari isi putusan MK Nomor 49/2011 tentang pengujian UU MK. Melalui putusan itu, norma dalam pasal itu dinyatakan inkonstitusional oleh MK sehingga oleh pembentuk undang-undang sekalian dihapus.

Selain itu, norma yang dihapus tersebut sebelumnya mungkin dimaknai putusan MK ditindaklanjuti hanya "jika diperlukan" sehingga akan memunculkan putusan yang perlu dan tidak perlu.

"Norma ini mengandung ketidakpastian, kekeliruan, dan mereduksi sifat final dan mengikat putusan MK. Padahal, semua putusan MK, terutama yang memuat legal policy baru, wajib untuk ditindaklanjuti oleh adressat putusan, termasuk pembentuk undang-undang," ucap Fajar.

photo
UU Cipta Kerja masih butuh aturan turunan - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement